Wednesday, March 31, 2010

Analogi Menggelikan

Kau adalah nikotin. Kau meracuni darah, memberi noda di gigi, juga menciutkan paru-paruku. Tapi, aku terus menghisapmu hingga baramu nyaris membakar filter. Menghabiskan satu bungkus untuk satu hari, dan hanya bungkus batang penuh nikotin yang mencantumkam namamu. Aku ketagihan akan dirimu.

Kau juga adalah alkohol. Membuat diriku mabuk dan mungkin suatu saat akan meledakkan lambungku hingga aku tak bisa lagi membuka mataku. Aku akan mati, tapi aku terus meminummu hingga aku tak bisa sadarkan diri, atau setidaknya aku akan sempoyongan dan tak peduli akan apa yang terjadi di sekitarku. Aku masih ketagihan akan dirimu.

Oh! Kamu pun adalah satu linting canabis. Satu hisap dirimu memutuskan begitu banyak sarafku. Menghancurkan indera visualku hingga waktu pun terasa bergulir begitu lama di depan mataku. Memberikan paranoia hiperbola yang membuatku terus mengintrospeksi diri dalam ketidaksadaranku. Walaupun aku menjadi pesakit, aku hanyut dalam mimpi yang begitu nyata. Satu linting terkadang tak cukup, tapi aku hanya butuh satu linting... Dirimu.

Kau tahu? Kamu adalah racun dan aku tahu tulisan ini begitu mirip dengan lirik mereka sang pelantun musik. Tapi mereka bukan aku dan aku pun tak mau seperti mereka, karena aku padamu dan mereka tak mungkin ada untukmu, racun.

Karena dirimu, aku tahu bahwa hidup tak akan indah tanpa kebusukan... bahwa sesungguhnya dunia perlu kehancuran agar mampu membenahi dirinya hingga akhirnya meminimalisir setiap keburukan yang pernah dialami... bahwa sesungguhnya hidup dalam jalan yang lurus tidaklah begitu seru... karena sesungguhnya tebing-tebing yang perlu dilalui adalah salah satu mahakarya seni yang akan dilalui oleh setiap manusia. Aku perlu dirimu agar aku hidup dalam keindahan dunia seperti yang aku sebutkan. Terkadang kamu memang tak indah, tapi kamu yang membuat duniaku ini dijalani dengan indah.

Thursday, March 25, 2010

How it be?

How it be? Wordless, actless, what a freaky times! Misery. Lullaby. How it be? How it effing be?

It’s feels like a long journey to nothingness, likes a corny-story in the nothing-better cliff. A not lunatic but loney person from the most humble sound of shore. I’m afraid. I ashame with all people who talk about sunset today and also, what a sunshine would be tomorrow. They forget the worst on yesterday or it better to says, an original yesterday. Original yesterday? What was I told? Original yesterday? Is it a joke? Is there any original-things now?

It is a long journey into the cave. How silence, darkness, mysteria, and also about no one-ness which let me pull over the trigger of the guns on the table makes me so pure? It is on the table in the cave! The cave… the cave… the caves.!The caves I into and, took the times so long for bending my knees to ask, “why it should be? Why?” I was puked. I Was puked with all these things or, maybe one thing, my ask.

Punishment, or karma, perhaps. Karma from what? Annihilating moment? Full-of-sins tragedy? Or just a Godlessness? Godlessness! I said Godlessness. Everybody say godlessness, but I just nobody.


*sorry for grammar

Cerita Citra

Citraku semu mendada dalam haru biru yang menyanjung para kudus untuk berlari di atas gelombang ombak yang tak begitu besar. Banyak duyung menyerah untuk bertahan selama mungkin di permukaan. Pelikan dan elang pun terus menatap tajam pada pemandangan asing di ujung paruh mereka. Para kudus menari di atas ombak. Mereka mengambang sedemikian rupa hingga tampak seperti balita yang hendak tenggelam. Mulai dinihari ini aku terus bercerita tentang citraku pada para kudus, namun mereka belum pernah berhenti untuk mendengarkan ceritaku sampai aku berhenti. Mereka selalu berpikir ceritaku sungguh hebat, padahal aku selalu mendramatisir setiap sudut dengan kegagahan dan keberanian yang begitu semu. Aku bercerita tentang ketidaknyataan dalam bentuk nyata, seolah verbalku ini selalu berubah-ubah pada setiap inci gerakan bibir yang dibantu oleh lidahku untuk mengeluarkan vibrasi dari pita suara. Aku hendak hening, tapi kudus terlalu berdaya untuk membuatku bercerita terus dan terus, terus menerus.

Waktuku untuk makan kuhabiskan kembali bercerita. Waktuku untuk tidur kulewatkan hanya untuk bercerita. Mungkin suatu saat aku akan buang air di tempat apabila mereka terus memintaku bercerita seperti ini. Aku bercerita, mereka menari. Tampaknya aku telah membacakan sejenis rapalan metafisis pada setiap kudus tanpa muka tanpa bayangan.

Aku lelah bercerita, mungkin aku lebih baik bernyanyi-nyanyi sendu agar kudus tak lagi mendekatiku, atau setidaknya mungkin mereka akan menangis tersedu-sedu di atas batu karang yang terhempas ombak berbuih.

***

Tak terasa awan jingga mewarnai setiap pasir putih yang tersingkap di permukaan. Telapak kakiku menembus permukaan tanah beberapa senti dan kudus tetap menari. Keram rasanya kakiku ketika aku terus bercerita dan hanya bercerita sembari berdiri layaknya arca.

Aku telah kehabisan cerita, wahai kudus! Biarkan aku berhenti bercerita. Aku tak bisa lagi berbohong mengenai seberapa besar aku mencintai citraku, tentang seberapa baik aku memperhatikan citra dengan mataku ini. Citraku dan citraku, citraku yang sebenarnya berada di dalam kardus bekas yang sudah sobek.

Jingga sore dengan cerita citra yang penuh kebohongan. Semu! Aku ini telah berbohong pada diriku, begitu juga dengan kudus. Aku berbohong dalam setiap cerita citra yang menggema selalu di ujung telinga para kudus yang terus menari. Aku bosan dengan kudus-kudus, aku juga bosan dengan pantai dan ombak ini. Aku ingin hijrah menuju gunung atau lembah yang tak banyak dikunjungi kudus lainnya. Aku tentu bisa memanjat pohon bersama monyet yang cerdas luar biasa, aku bisa berkelit seperti ular yang licik tiada duanya, aku bisa memberontak seperti anoa yang hendak diburu. Aku bukanlah budak dari setiap kudus yang menari keranjingan setelah mendengar ceritaku, karena aku mencintai cerita citra untuk diriku sendiri. Aku tahu aku sungguh mencintai citra. Bukan citra yang ku cintai, tapi cerita citra. Citra yang bukan untuk citra.

Surat dan Tukang Pos

Ada satu atau dua pucuk surat di dalam divisi pikiranku. Surat tersebut memang telah kubaca berkali-kali dan ku harap isinya akan berubah, tapi bagaimana mungkin itu bisa terjadi. Isi dari surat tersebut sama seperti surat-surat yang telah kubaca sebelumnya. Hanya terdiri dari beberapa kata acak yang begitu abstrak. Mana mungkin aku bisa membacanya? Menulis seperti itu pun aku tak bisa. Surat-surat tersebut terkirim tanpa identitas. Sedikit menggelikan ketika kubaca permintaan kirim ulang di akhir tulisan dalam surat tersebut. Siapa yang perlu ku kirim ulang apabila tak ada identitas pengirim di surat-surat tersebut? Ah, buat apa kupikirkan? Masih banyak kan telapak tangan yang masih bisa dipikirkan?

Tapi, ada sedikit beban ketika aku tak membalas surat yang telah terkirim tersebut. Mungkin saja kan apabila si pengirim memintaku untuk membalas suratnya dengan cara yang berbeda? Aku rasa si pengirim ingin mencoba membuatku berinteraksi dengan tukang pos. Tapi itu sudah lama, tukang pos hanyalah hiasan jalanan berwarna oranye. Orang-orang tentu akan merasa lebih nyaman dengan olahraga jempol di atas keypad ponsel mereka. Lalu, dimana aku bisa bertemu dengan tukang pos yang telah mengirimkan surat tersebut? Aku pun bingung.

Tenang

Tenang bergenang noktah-noktah berlumpur. Mana ada tenang yang ditumbuhi seribu tarantula? Tenang tidak berada dalam figura. Tenang itu ketika semua ketenangan meraba mata, hati, telinga, dan juga lidah. Tenang itu mungkin bersantai, tidak berdansa, bernyanyi, berteriak, ataupun melompat-lompat kegirangan, apalagi meneteskan air mata. Tenang tidak bersinar, dan tenang juga tidak begitu gelap. Suram bukan tenang, itu jelas bukanlah tenang. Tenang itu bukan mengumpat, memanjat dinding melintang, ataupun melempari anjing yang melintas, apalagi menyayat pergelangan tangan. Tenang itu tetaplah tenang, karena tenang akan terasa menenangkan apabila tenang tersebut benar-benar menenangkan, bukan menyenangkan. Karena tenang bukanlah senang, apalagi sedih. Itu bukan tenang.

Tenang itu datar, tidak bergelombang ataupun mengalir deras. Tenang itu tidak dapat dibuat menenangkan setenang mungkin. Tenang itu adalah tenang. Melempar tenang tentu saja tak bisa membuat tenang. Tenang itu tidak diciptakan, maka janganlah melemparnya. Tenang tidak mahal, karena tenang tidak mengenal materi. Tenang itu adalah tenang. Dan rasa tenang akan selalu menenangkan. Tenang tidak mahal, bukan? Seperti itulah tenang. Tenang tidak mudah untuk didapat, yang ada mungkin tenang-tenangan yang tidak menenangkan.

Rasa tenang tidak berada di sebelah kepala kita ketika bantal menjadi alas kepala kita. Tenang itu disaat kita melihat sekitar dan merasakan ketenangan. Tenang tidak datang terang-terangan, tenang kan tidak terang, tapi terang-terangan pun tak memiliki hubungan dengan tenang, ya? Tenang itu membingungkan disaat kita memikirkannya tanpa rasa tenang. Namanya juga tenang. Tenang itu tetaplah tenang. karena tenang akan terasa menenangkan apabila tenang tersebut benar-benar menenangkan, bukan menyenangkan. Karena tenang bukanlah senang, apalagi sedih. Itu bukan tenang.

Ketololan Apokaliptik

Apabila bumi mempersembahkan lorong waktu, lebih baik lidah ini tak kaku untuk menunjuk. Dalam kesunyian yang berulang-ulang, dan serapah akan kemunafikan, begitu pula dengan respon tatapan tak tertahankan, segalanya terlihat bodoh dalam tingkat yang tak berlangit. Telapak tangan saling bersentuhan dan lutut mulai bertekuk sebagai preparasi untuk mencegah kemungkinan jiwa ini mati di pelataran jalan. Obsesi terbentuk untuk mendalangi formalitas pendekatan emosional yang terlihat begitu konvensional. Entah apakah perlu membiaskan hati menuju opsi alternatif yang tak mampu digenggam, entah apakah anesthesia akan keberadaan dualitas dalam satu jerat kompleksitas bercahaya mulai menggerogoti nadi ini, kebimbangan yang sarat akan posibilitas menjadi begitu nyata pada pelupuk mata yang terkoyak. Mungkin saja kematian akan terjadi dan tubuh ini akan hidup tanpa jiwa!

Wadal-wadal kini mulai menghilang. Semuanya telah menjadi imitasi yang berlalu lalang untuk kesekian kalinya. Gundah pun terulang dan jenuh jenaka mulai mencoba untuk mengendalikan sunyi, remahan halusinasi yang teremas dalam bayang-bayang keindahan apokaliptik berubah bentuk menjadi kebahagiaan fana tampak tolol. Lampu koridor pun kini malu untuk bersinar. Mungkinkah bumi tetap ramah dengan segala keraguan ini?

Hujan mencoba mengikis makna harapan, mayoritas kuasa propaganda yang mengakar tak bisa lagi menciptakan kepedulian. Kali ini yang diketahui hanyakah keberadaan teori sebab-akibat dari sebuah efisiensi interaksi. Pertanyaan-pertanyaan berhamburan pada meja kusam yang telah lama ditinggalkan, mengapa tak ada emosi yang terlepas dari lidah hati.

Tampak bodoh! Benar-benar bodoh! Gejolak kuat berhasrat dalam mimpi, dan sugesti pun selalu melafalkan kompresi kesunyian dalam pikiran. Oh, bebaskanlah! Mulailah mengada pada dunia yang sederhana ini! Harapan kini adalah berharap agar telapak tangan itu tergenggam dalam jemari ini.

Kuduk Kudus

Diriku terpaku di pojokan. Jariku menari-nari, kakiku terlipat, dan kepala ini tak henti-hentinya membenturkan diri pada dinding kusam di belakangnya. Lalu, semuanya berhenti bergerak. Jemari terkepal, dan akhirnya terbuka satu persatu. Terlihat seperti menghitung, atau mungkin mencoba untuk kembali menari. Jantungku berdetak. Berdetak dan berdetak dengan irama yang begitu kacau. Kacau sekacau-kacaunya. Rambutku kini kering, kusam, berminyak. Otakku tak pernah lagi selaras dengan kerja rodi tubuhku. Aku terlihat seperti ilalang parasit yang menjemukan mata orang yang melihat. Aku tetap tertegun di pojokan. Menyaksikan kecoa busuk yang merangkak naik ke meja yang penuh dengan sampah dan ampas kopi yang mengering, dan juga berjamur. Jamur yang tumbuh begitu tebal hingga aku baru menyadari bahwa jamur-jamur itu kini tampak seperti bulu kuduk yang berdiri. Kuduk. Apa itu kuduk?

Rintang

Aku telah lama bermukim dalam kediaman tak bertangan. Mencoba berpikir mengenai angan yang terus terbang dalam hembusan angin timur yang melintang. Bersenggama dengan rintang dan melepas libidoku di dalam ruang yang begitu remang. Menjerumuskan tubuh ke dalam bebatuan dan karang. Menghancurkannya hingga hanya tersisa belulang tanpa daging yang sudah meregang. Dan aku hanya bisa membiarkannya terbuang dalam keramaian yang penuh akan parang. Ketika benderang kembali membuat tulang-tulang berkilau, tubuh yang terlanjur terbujur kaku hanya bisa mencoba tenang.

Genesis

Aku mencoba berkata, "Biarkan aku bercerita! Ini caraku bercerita!"

Terima Kasih.