Thursday, March 25, 2010

Surat dan Tukang Pos

Ada satu atau dua pucuk surat di dalam divisi pikiranku. Surat tersebut memang telah kubaca berkali-kali dan ku harap isinya akan berubah, tapi bagaimana mungkin itu bisa terjadi. Isi dari surat tersebut sama seperti surat-surat yang telah kubaca sebelumnya. Hanya terdiri dari beberapa kata acak yang begitu abstrak. Mana mungkin aku bisa membacanya? Menulis seperti itu pun aku tak bisa. Surat-surat tersebut terkirim tanpa identitas. Sedikit menggelikan ketika kubaca permintaan kirim ulang di akhir tulisan dalam surat tersebut. Siapa yang perlu ku kirim ulang apabila tak ada identitas pengirim di surat-surat tersebut? Ah, buat apa kupikirkan? Masih banyak kan telapak tangan yang masih bisa dipikirkan?

Tapi, ada sedikit beban ketika aku tak membalas surat yang telah terkirim tersebut. Mungkin saja kan apabila si pengirim memintaku untuk membalas suratnya dengan cara yang berbeda? Aku rasa si pengirim ingin mencoba membuatku berinteraksi dengan tukang pos. Tapi itu sudah lama, tukang pos hanyalah hiasan jalanan berwarna oranye. Orang-orang tentu akan merasa lebih nyaman dengan olahraga jempol di atas keypad ponsel mereka. Lalu, dimana aku bisa bertemu dengan tukang pos yang telah mengirimkan surat tersebut? Aku pun bingung.

No comments:

Post a Comment