Thursday, March 25, 2010

Cerita Citra

Citraku semu mendada dalam haru biru yang menyanjung para kudus untuk berlari di atas gelombang ombak yang tak begitu besar. Banyak duyung menyerah untuk bertahan selama mungkin di permukaan. Pelikan dan elang pun terus menatap tajam pada pemandangan asing di ujung paruh mereka. Para kudus menari di atas ombak. Mereka mengambang sedemikian rupa hingga tampak seperti balita yang hendak tenggelam. Mulai dinihari ini aku terus bercerita tentang citraku pada para kudus, namun mereka belum pernah berhenti untuk mendengarkan ceritaku sampai aku berhenti. Mereka selalu berpikir ceritaku sungguh hebat, padahal aku selalu mendramatisir setiap sudut dengan kegagahan dan keberanian yang begitu semu. Aku bercerita tentang ketidaknyataan dalam bentuk nyata, seolah verbalku ini selalu berubah-ubah pada setiap inci gerakan bibir yang dibantu oleh lidahku untuk mengeluarkan vibrasi dari pita suara. Aku hendak hening, tapi kudus terlalu berdaya untuk membuatku bercerita terus dan terus, terus menerus.

Waktuku untuk makan kuhabiskan kembali bercerita. Waktuku untuk tidur kulewatkan hanya untuk bercerita. Mungkin suatu saat aku akan buang air di tempat apabila mereka terus memintaku bercerita seperti ini. Aku bercerita, mereka menari. Tampaknya aku telah membacakan sejenis rapalan metafisis pada setiap kudus tanpa muka tanpa bayangan.

Aku lelah bercerita, mungkin aku lebih baik bernyanyi-nyanyi sendu agar kudus tak lagi mendekatiku, atau setidaknya mungkin mereka akan menangis tersedu-sedu di atas batu karang yang terhempas ombak berbuih.

***

Tak terasa awan jingga mewarnai setiap pasir putih yang tersingkap di permukaan. Telapak kakiku menembus permukaan tanah beberapa senti dan kudus tetap menari. Keram rasanya kakiku ketika aku terus bercerita dan hanya bercerita sembari berdiri layaknya arca.

Aku telah kehabisan cerita, wahai kudus! Biarkan aku berhenti bercerita. Aku tak bisa lagi berbohong mengenai seberapa besar aku mencintai citraku, tentang seberapa baik aku memperhatikan citra dengan mataku ini. Citraku dan citraku, citraku yang sebenarnya berada di dalam kardus bekas yang sudah sobek.

Jingga sore dengan cerita citra yang penuh kebohongan. Semu! Aku ini telah berbohong pada diriku, begitu juga dengan kudus. Aku berbohong dalam setiap cerita citra yang menggema selalu di ujung telinga para kudus yang terus menari. Aku bosan dengan kudus-kudus, aku juga bosan dengan pantai dan ombak ini. Aku ingin hijrah menuju gunung atau lembah yang tak banyak dikunjungi kudus lainnya. Aku tentu bisa memanjat pohon bersama monyet yang cerdas luar biasa, aku bisa berkelit seperti ular yang licik tiada duanya, aku bisa memberontak seperti anoa yang hendak diburu. Aku bukanlah budak dari setiap kudus yang menari keranjingan setelah mendengar ceritaku, karena aku mencintai cerita citra untuk diriku sendiri. Aku tahu aku sungguh mencintai citra. Bukan citra yang ku cintai, tapi cerita citra. Citra yang bukan untuk citra.