Sunday, October 31, 2010

Day #26 : Repetisi

Dalam segugah perih yang tercipta dari suatu anonimus, terdapat sebuah tanya tanpa tangis mengapa waktu tak luangkan terang untuk menyambar petang. Kemari sang bulan yang baru saja mengintip di antara sejejalan awan kelabu, menerka pahit yang tercipta dari ketiadaan rasa nyaman dari sebuah emosi labil yang menggeram, juga dari pengingat asa yang kini temaram di antara kelam. Gelap kini menjelang, kalbu akan segera mengerang.

Kembali detak detik menyudutkan lidah untuk segera mencari solusi di tengah keterasingan. Mengumbar derita dari sulitnya sang waktu untuk berhenti menunggu suara yang melengkingkan harapan, lalu kembali menjalankan kemudi dan menguatkan buritan. Kembali menjalankan lagi rasa yang terbuang dari setiap statistik yang terulang. Terulang dan terus terulang. Terulang hingga hanya tersisa belulang yang terkikis karang.

Semua hanya untuk benderang di tengah galau yang menggarang.

Saturday, October 30, 2010

Day #25 : Messier

Seperti messier yang melayang di malam cerah, menunjukkan sebuah gemilang pada rangkat alam yang berkibar tak tersentuh. Sebuah etalase akan keindahan yang tersusun oleh sekian banyak reflektor menunjam. Sebuah katalog akan kebijakan mitologi yang telah lama terbuang. Lensa tak lepas pada pandangan memukau di sekelilingnya, menyeberang dan tertuang pada rintisan lontar-lontar suci yang teragungkan. Atap langit tak pernah terbungkus kaca untuk menjelaskan benderang, dan kini setiap bakaran tak lagi sekedar menyala dan menyalak di tengah kebuntuan.

Thursday, October 28, 2010

Day #24 : 5 Video Musik Live Paling Oke Beberapa Bulan Terakhir

Karena kesibukan berupa tugas-tugas yang menumpuk, ditambah lagi dengan tidak adanya inspirasi untuk menulis sesuatu di malam ini. Akhirnya sebagai solusi--dengan kesan memaksa, tulisan kali ini akan menceritakan 5 video musik live yang (sedang) saya sukai/kagumi.

Mari kita mulai dari bontot.

5. The Killers - Human (MTV EMA 2009)

Memang saya suka lagu ini. Kenapa? Karena liriknya oke menurut saya. Si Brandon Flowers cs. ini juga oke sewaktu perform di acara MTV Europe Music Award 2009, apalagi dengan setting panggung yang sensasional. Ga percaya? Langsung simak aja, comrade.




4. Big Four of Trash - Am I Evil? (Sonisphere, Bulgaria; 2010)

Slayer, Metallica, Anthrax dan Megadeth. Empat band paling kick-ass dari skena yang membuat kalian (para lelaki) merasa sangat cowok. Mungkin bersatunya keempat band ini adalah jawaban dari doa-doa yang dipanjatkan oleh para metalhead. Coba mainkan salah satu lagu dari salah satu band itu pada mp3 player kalian, lalu dengarkan pada earphone sambil mengendarai motor. Itu bisa membuat kalian merasa lebih pede, setidaknya kalian bisa merasakan bagaimana macho-nya menunggangi sebuah Harley walaupun hanya motor bebek buatan cina yang sedang kalian kendarai. Di Sonisphere, keempat band ini memainkan lagu milik Diamond Head--sebuah band heavy metal dari UK--berjudul "Am I Evil?"




3. Bad Religion - You (T-Mobile Extreme Playground, Duisburg; 25 April 2010)

Sebenarnya, tidak ada yang terlalu istimewa dari penampilan mereka di Duisburg pada pagelaran T-Mobile Extreme Playground 25 April yang lalu. Hanya saja, melihat postur gemuk-tanda-hidup-sudah-semakin-menyenangkan dari para personelnya tidak mempengaruhi karisma mereka yang tetap kental dengan punk-nya. Kalau kata Joko Anwar, lelaki itu semakin tua, semakin seksi.




2. Gorillaz & Madonna - Feel Good Inc. & Hung Up (Grammy Awards; 8 Februari 2006)

Selalu keren apabila band animasi yang dikomandoi oleh Damon Albarn ini berkolaborasi dengan musisi lainnya di atas panggung secara live, apalagi kalau yang berkolaborasi itu si tante oke, Madonna. Keren dan memang keren, kalian akan kagum melihat live ini. Madonna bikin feel good, tapi gak sampai bikin hung up kok.




1. Oasis - Don't Look Back in Anger (Argentina; 2009)

Yang jelas, saya pasti merinding seandainya saya menjadi salah satu orang yang berada di video ini. Tak ada yang lebih menyenangkan dari bermain musik di atas panggung dan yang lain ikut bernyanyi bersama kita. Apa jadinya kalau orang yang ikut bernyanyi itu berjumlah ribuan orang? Friends, it is Emotional Version of Don't Look Back in Anger.




Sekian dan terima kasih.

Wednesday, October 27, 2010

Day #23 : Mari Berbaris

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.

Mari membangun, membangun sebuah kebersamaan dalam keberagaman.
Mari kembali berseri dan melukis masa depan di lembaran-lembaran awan yang kembali terlihat bersih.
Sudahlah tak perlu menangis, lebih baik kita menangkis.
Mari kita berbaris bukan untuk mengemis. Ayo mari berseri, jangan kita meringis.
Ayolah kita berbaris, berbaris membuat barisan yang tidak hanya terisi gamis.
Mari berbaris. Ayo baris di bawah panji merah-putih.

Tuesday, October 26, 2010

Day #22 : Impian dan Douchebag

Sebenarnya tidak salah bahwa kita mendambakan sebuah masa depan yang lebih baik untuk diri kita, setidaknya kita bisa mewariskannya kepada anak cucu kita di kemudian hari apabila kita tidak sempat merasakannya di saat kita masih hidup. Masa depan ini layaknya sebuah imperialisme individu dengan jargon “gold, gospel, and glory,” karena kita ingin hidup (lebih) mapan dalam hal ekonomi, sosial, dan spiritual pada suatu saat nanti.

Semua hal mengenai peruntungan di kemudian hari ini seharusnya berawal dari diri kita sendiri, karena kita semua tahu bahwa impian itu bersifat “tidak kenal mereka,” tetapi lebih mengedepankan “untuk saya.” Apa yang kita dapat di kemudian hari adalah manifesto usaha yang kita lakukan di waktu sebelumnya.

Apabila kita seorang nasionalis yang cenderung fasis, ataupun agamis yang lebih terlihat seperti fanatis radikal, semua impian tersebut akhirnya memiliki tendensi untuk berubah menjadi sebuah impian dengan skala lebih luas dalam sebuah naungan kolektif yang cukup besar pula. Dengan sebuah komunitas yang dibakar oleh spirit impian yang sama, maka orang-orang yang ada di dalamnya pun akan mengamini apa yang dikatakan oleh seseorang di antaranya, kecuali apabila pemimpin dalam kolektif tersebut lebih berorientasi pada persenggamaan diri dengan target pribadi.

Mungkin kita bisa lihat bahwa oknum yang merajalela di jalanan kini tergabung pada sebuah kelompok assholes-yang-ingin-terlihat-bad-ass dengan segala douchebaggery-nya yang lengkap dengan kerikil-kerikil ataupun botol kecap dengan bensin dalam konsep kapilaritas. Mengatasnamakan “the One” dalam pengejawantahan impian kolektif, lalu mengedarkan propaganda pemberontakan serta provokasi yang menyulut ketidakstabilan hidup dalam kemasyarakatannya yang rentan terhadap perselisihan. Egoisme individu memang berbahaya, tetapi hal tersebut tak ada apa-apanya dibandingkan dengan egoisme kelompok.

Catatan sejarah serta pemikiran-pemikiran yang mengakar pada sebuah paham left-wing sangat memahami bahwa apa yang mereka lakukan dalam program-program sistematisnya adalah sebuah respon kekecewaan terhadap humanity and freedom yang tidak berjalan sesuai harapan. Namun apabila kita menahbiskan seorang achterlijk sebagai kepala dari pergerakan, dan terlanjur kita merapat pada barisan terdepan perlawanan maka kita telah terperangkap juga pada tindakan douchebaggery yang akan dilakukan oleh para Mooselinis tersebut.

Orientasi kumpulan nyawa ini mungkin lebih berorientasi pada movement DIY (Do It Yourself) ala anarkis, daripada menyadari ungkapan “just be yourself” yang sudah punah dimakan waktu. Mungkin rekaan yang tepat pada masa—yang sekarang sering disebut sebagai posmo—ini adalah ungkapan, “Nothing of me is original. I am the combined effort of everyone I've ever known.” dari seorang Chuck Palahniuk. Maka, kelompok ini pun mencampuradukan semua garis-garis lurus menjadi sebuah garis amburadul nan absurd sebagai sebuah teori pembenaran akan “pembangkangan” yang mereka lakukan. Dan mereka merasa bangga melakukan douchebangin’.

Kembali pada konsep impian, seharusnya kita menyadari bahwa kita lebih baik melakukan usaha-usaha yang membuat diri kita lebih mapan di kemudian hari, bukan merakit masa depan yang berbicara tentang “hal itu,” “mereka,” ataupun “urusan kami.” Setelah memapankan diri, baru kita bisa berbicara bahwa “aku bisa mengubah semua itu.”

Mengapa tetap disebut demonstrasi mahasiswa? Padahal hanya segelintir douchebag-fasis-tanpa-gelar-sarjana yang berdiri membuat kerumunan di tengah demonstrasi tersebut.

Monday, October 25, 2010

Day #21 : Malin

Dengan sebuah angkara yang menjilat ludah, sebuah komunitas tetap melaju deras tak terikat pada sebuah nyawa yang melintas. Setiap matanya tertuju pada sistematika yang berjalan, tak terpaku pada teori yang menindas. Atas dasar resesi, sangkakala paruh waktu kini tertiup berbunyi nyaring, memberikan penahbisan akan nilai-nilai yang menggantung. Maka, biarkanlah nilai itu memberikan level horizon berbeda pada setiap persepsi yang saling merangkul. Sesungguhnya, sebuah proses tak lagi menjadi bagian dari hasil pemetaan.

Langkah-langkah kaki terhenti adalah perihal pengundang terik yang mengeringkan tenggorok. Azazil pun kini mengubah bentuk menjadi primadona yang bergelut dalam manifetasi rasa iri. Tembakau yang merintih, menyaksikan ketiadaan produktivitas dari para pelahap monitor di saat bumi meloloskan harapan.

Angkara dan angkara, angkara kini merangkul jiwa rendah pada sebuah sifat yang usang.

Sunday, October 24, 2010

Day #20 : Artimati

Karena terkadang cinta hanya bisa tercipta ketika selongsong senapan menempel pada dahi, bukan berarti segurat asa harus timbul setelah jentik fanatisme menjamur pada kuduk berdiri. Dalam setiap kepalan yang meninju udara, serta kerikil yang menjadi senjata minimal, suara perubahan tak mungkin berasal dari mulut seorang orator yang mengklaim diri sebagai agent of change. Media inspirasi tak lekang dari nurani pembangkang yang mengerang.

Anarkisme seharusnya tak menyerang, tak menendang apalagi menghujam parang. Tak laik bahwa stigma menyimpang beraroma tong sampah kini terejawantah pada skena chaotic skala goliath. Kini, tak seharusnya katalog hipotesis menjadi motivasi pembenaran, karena fakta pun bisa terbantahkan oleh waktu. Suka atau tidak, bumi dan langit tidak mengharapkanmu sebagai pemberi jalan dunia.

Karena ilusi yang selalu mendulang masa depan impian tidak selalu berarti pada jelangan akhir bumi akan bertransisi menjadi firdaus, terkadang sekali mati maka tak ada lagi kehidupan setelah perlawanan.

Teruntuk kalian para poser dalam kerumunan.

Day #19 : Revelasi Singkat Anarkisme

PENGENALAN

Menurut situs Wikipedia Indonesia, Anarkisme atau dieja anarkhisme berasal dari kata dasar anarki yang diakhiri dengan isme. Kata anarki adalah serapan kata asing seperti anarchy (Inggris) dan anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang juga menyerap kata Yunani anarchos/anarchia. Ini merupakan kata bentukan a (tidak/tanpa/nihil) yang disisipi n dengan archos/archia (pemerintah/kekuasaan).
Berdasarkan etimologi tersebut, bisa disimpulkan bahwa anarkisme merupakan sebuah paham yang menolak eksistensi dari konsep hirarkis. Hal ini berlaku dua arah, yaitu tidak mengenal adanya konsep mengepalai-dikepalai, memimpin-dipimpin, mengendalikan-dikendalikan, memerintah-diperintah dalam penguasaan dan koordinasinya karena menciptakan eksploitasi dan penindasan terhadap individu yang ada di dalamnya.
Pada dasarnya, visi dari anarkisme adalah memperjuangkan kebebasan seseorang agar terlepas dari rantai yang mengekang. Sesuai dengan konsep dasar anarki, maka hirarki akan menjadi salah satu hal yang perlu dimusnahkan karena hirarki selalu berupa struktur organisasi dengan otoritas yang mendasari cara penguasaan yang menindas. Akan tetapi, bukanlah hirarki yang menjadi target perlawanan para anarkis, melainkan penindasan yang menjadi karakter dalam otoritas hirarki tersebut. Karena anarkisme menolak sesuatu yang mengikat ataupun membatasi gerak-gerik dan keinginan seorang individu untuk bebas, maka para anarkis radikal pun menganggap negara dan agama lebih baik tidak ada.

SEJARAH

Ide-ide mengenai anarkisme konon dimulai melalui salah satu karya filsuf Tiongkok, Lao Tse, juga pada karya-karya lain dari beberapa filsuf Yunani. Akar-akar filosofi ini banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Gnostic dan Karpocrates, juga dipengaruhi beberapa aliran agama Kristen di Jerman, Prancis, dan Belanda. Akan tetapi, para anarkis sepakat bahwa Pierre-Joseph Proudhon merupakan pemikir yang memberikan pengaruh terbesar terhadap perkembangan paham anarkisme.
Proudhon mempunyai keyakinan bahwa sebuah evolusi kehidupan intelektual dan sosial menuju tingkat yang lebih tinggi harusnya tidak dibatasi oleh rumus-rumus abstrak. Proudhon sangat menekuni kehidupan intelektual dan sosial pada masa hidupnya, kritik-kritik sosialnya didasari oleh pengalaman hidupnya itu. Dia merupakan seseorang yang mempunyai visi yang sangat luas. Diantara pemikir-pemikir sosialis di zamannya, dialah yang paling mampu mengerti sebab-sebab penyakit sosial.
Tokoh-tokoh di masa-masa awal anarkisme yang terkenal adalah Max Stirner (1806-1856), Proudhon (1809-1865), Mikhail Bakunin (1814-1876), dan Peter Kropotkin (1842-1921). Mereka tidak hanya teoritis pada masanya, tetapi juga menwujudnyatakan program-program yang sistematis.

ANARKISME ≠ KOMUNISME

Melihat filosofi anarkisme yang berbasis ke-kiri-an, bukan berarti anarkisme bisa selalu berjalan beriringan bersama komunisme. Hal ini betul-betul dipahami oleh Proudhon dan juga Bakunin. Pada sebuah kongres di Bern pada tahun 1868, Bakunin berkata, “Saya bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan membuat mereka terserap ke dalamnya; karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan saya ingin memusnahkan negara—pemusnahan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.”

ANTI-KEKERASAN

Sebagaimana yang telah kita ketahui, media massa telah membelokkan definisi dan esensi dari kata anarkisme. Masyarakat sebagai pelahap informasi akhirnya terjerumus dalam stigma bahwa anarkisme merupakan sebuah tindak kekerasan ataupun biang kekacauan (chaos/chaotic). Padahal, para anarkis pada dasarnya menolak segala bentuk kekerasan. Alexander Berkman sempat menulis,

"Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan BARBARISME atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa ANDA HARUS BEBAS. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta hidup di dalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan."

Dari pernyataan di atas, terlihat jelas bahwa para anarkis sama sekali tidak menginginkan munculnya kekerasan antara sesama manusia. Mereka justru sangat mendambakan kehidupan yang bebas dan damai. Namun, karena anarkisme bersifat merusak kestabilan negara, maka media massa pun “mewahyukan” makna baru dari kata anarkisme.
Setelah menyuarakan berbagai pernyataan, Alexander Berkman pada akhirnya diusir dari Amerika Serikat—bersama Emma Goldman yang juga seorang anarkis—karena dianggap menggangu stabilitas negara. Padahal, AS mengklaim tanah mereka sebagai the land of the free.

PERGERAKAN

Movement anarkisme terbagi ke dalam dua kategori berdasarkan eksposisinya, ada yang bersifat terang-terangan dan ada juga yang bersifat bawah tanah (underground). Pergerakan-pergerakan ini bisa melalui berbagai media. Seni merupakan salah satu pemberi konstribusi terbesar dalam pergerakan anarkisme di zaman modern.
Melalui musik, Punk/Punk Rock menjadi skena yang paling dominan dalam menyuarakan anarkisme. Pemahaman dan pergerakan para punker memang mengakar pada spirit anarkisme. Sex Pistols sebagai salah satu pionir dan ikon terbesar dari genre ini bahkan memiliki sebuah lagu yang berjudul sangat eksplisit, Anarchy in the UK. Setelah itu, Band-band punk gelombang kedua (1980-1984) seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika Serikat telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll. Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik. Selain musisi punk, banyak pula musisi-musisi dari genre lain yang mengusung tema anarkistik. Salah satunya adalah Rage Against the Machine dimana gitarisnya, Tom Morello, sering menggunakan gitar dengan warna Merah dan Hitam. Warna merah dan hitam yang bertumpuk secara horizontal merupakan simbol dari paham Anarko-Sindikalisme (paham campuran antara anarkisme dan sosialisme). Selain band-band tersebut, masih banyak musisi lain yang menyuarakan anarkisme.
Melalui sastra, terlahir gaya menulis fenomenal dari aliran simbolis. Aliran simbolis memang belum tentu menyuarakan misi pembebasan diri dari kekuasaan hirarkis, tapi karena gaya menulis aliran ini bersifat out-of-box, maka aliran ini pun dianggap sebagai anarkismenya karya-karya sastra. Voltairine de Cleyre dan Arthur Rimbaud adalah tokoh yang terkenal sebagai sastrawan anarkis.
Selain musik dan sastra, anarkisme juga sering terlihat dari karya-karya seni lainnya seperti lukisan, pahatan, theater, film, dan lain-lain.

ORGANISASI ANARKIS

Organisasi anarkis sangat banyak jumlahnya. Organisasi-organisasi itu, baik besar maupun kecil, berada di setiap benua. Food Not Bombs, Indymedia, dan Red and Anarchist Skinheads merupakan tiga organisasi anarkis besar berskala internasional. Sementara itu, Indonesia memiliki Kolektif Kontra Kultura yang berbasis di Bandung. Mereka merupakan KKK-nya Bandung, tetapi tidak seperti KKK milik bule (Ku Klux Klan) yang sangat rasis. Kolektif Kontra Kultura—bersama Anti Fascist and Racist Action (AFRA) di Jakarta—berafiliasi dengan sebuah organisasi anti-rasis skala internasional bernama Anti Racist Action (ARA). Selain itu, adapula Taring Padi di Yogyakarta, sebuah kolektif yang terdiri dari para seniman anarkis. Bahkan, pada era ini mulai muncul pula sebuah jaringan skala nasional bernama Jaringan Anti Fasis Nusantara (JAFNus), yang didalamnya terdapat banyak organisasi kecil dari seluruh Indonesia yang seluruhnya juga mengusung Anarkisme sebagai dasar ideologi politiknya yang kemudian dibubarkan.
Memasuki era tahun 2000, gerakan anarkisme semakin menununjukkan eksistensinya di Indonesia dengan semakin bermunculannya organisasi-organisasi baru. Beberapa diantaranya adalah kelompok Affinitas di Yogyakarta, Jakarta Anarchist Resistance di Jakarta yang kemudian bertransformasi menjadi Jaringan Otonomis (JOtos), Jaringan Autonomous Kota di Salatiga, dan lain sebagainya.


Tulisan ini bersifat referensial yang diringkas dari beberapa sumber.
http://anakdjahat.multiply.com/
http://aquarian93.blogspot.com/
http://en.wikipedia.org/
http://ind.anarchopedia.org/
http://tulisendw.blogspot.com/
Serta beberapa sumber lain.

Thursday, October 21, 2010

Day #18 : Naluri

Naluri kian bernafsu mencari ratu. Berdamping di kanan kirinya lulabi dan anubis yang tengah bersiap menjalari emosi dan menangkap jiwa. Naluri mencari mati, menjalani kemudi kepahitan masa lalu yang berjuang menggapai puncak dari tumpukan totem yang menjulang.

Kini langit semakin jingga. Jalanan kian sepi tak tergilas. Alam berirama minimal bersama jerit tangis pepohonan berdaun kering. Matahari mulai menarik diri, lalu bersembunyi di punggung bukit yang tengah berorgasme. Anjing-anjing berlari terkencing-kencing. Mata air menumpahkan air derita pada desa kebinasaan.

Naluri bersiap diri untuk menyapa bulan, lalu bercerita mengenai matahari yang tenggelam.

Wednesday, October 20, 2010

Day #17 : Kalamis

Debu menciptakan kelu pada sebuah skena di mana api sejari bercahaya dari atas altar. Sunyi sepi dan suram mencoba bercerita pilu bersama angin-angin malam yang melintas keliru. Roman-roman dramatis pun tercipta, tergambar sebuah bayangan ruang tak bertuan yang menjadi pesohor di kediaman para-tuan. Ya! Artistika pada sebuah halam yang tak lagi menjabarkan kalam-kalam beraut. Sebuah arena di mana hati meminta luka digantikan pusaka penuh rasa.

Emis kini bertekuk lutut pada sebuah junjungan kosong dan meminta alam menunjuk satu hawa sebagai rusuk. Bersatu dalam malu yang menjurang pada rendahnya waktu untuk memutar gelap dan terang. Maka, tertunjuklah satu jemari untuk menunjuk satu. Memilah dan memilih serdadu yang juga berjuang mencari fenomena lain selain kosmos, lalu bergandengan tangan menyapa matahari di luar parit ketakutan. Ketakutan untuk berjalan seorang diri.

Wadal-wadal kini terkumpul pada sebuah wahana goliathik yang mengakar hingga ujung bumi seberang. Menyebabkan terciptanya penyeragaman stigma bahwa emis adalah pemilih dan pencari. Pencari yang sebelumnya harus berjuang menyusuri voida hingga akhirnya muncul pada sebuah horizon kepekaan.Kepekaan untuk memilah dan memilih, setelah sebelumnya tertunjuk untuk menunjuk dengan kepekaan. Sesungguhnya, emis berjalan dalam sebuah siklus bundaran yang hanya tersingkap setengahnya di atas marble.

Tuesday, October 19, 2010

Day #16 : Monolog

“Kopi lagi, miss?”
“Tidak, ini sudah cukup! Berapa semuanya?”
“French Toast dan kopi, 2 dollar, miss.”

Gloria mengeluarkan satu lembar uang kertas senilai 20 dollar dari saku celananya. “Ini.” katanya sambil menyodorkan uang itu. “Kau boleh ambil kembaliannya.”
“Terima kasih, miss.” Balas pelayan tersebut dengan ekspresi tak percaya. Darimana dia mencuri uang ini? Pikirnya.

Gloria keluar dari tempat makan itu, lalu masuk ke minimarket di sebelahnya. Aku akan kembali ke rumah Eris. Pikirnya dalam hati. Setelah selesai membeli sebungkus rokok dan sebotol air mineral dari minimarket tersebut, ia memanggil sebuah taksi. “33rd Flatstreet.” Katanya kepada supir taksi.

***

Eris kini berada di gudang bawah tanah rumahnya. Ia sedang mengikat kedua lengan Artsy dengan seutas tali tambang. Sebelumnya, ia menyeret Artsy dari ruang tengah, lalu mendudukannya pada kursi kayu berwarna cokelat di gudang bawah tanah rumahnya ini. Sekarang, lengan dan pergelangan kaki Artsy terikat sudah. Ia bagaikan seorang tahanan perang. Kepalanya dilumuri oleh darah. Matanya tertutup. Ia belum juga sadarkan diri.

“Aku tak henti-hentinya menyebutmu bodoh, Artsy.” Kata Eris sambil menatap Artsy yang diam tak bergerak. “Dasar kau junkie! Kau bahkan bisa dibuat pingsan oleh perempuan sepertiku!”

Eris kini menyalakan sebatang rokok, lalu menghisapnya dalam-dalam. Kemudian, Eris mengangkat dagu Artsy. “Kau harusnya malu!” katanya. “Gloria adalah urusanku, bukan urusanmu!” Eris melepaskan dagu Artsy, lalu kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke wajah Artsy. “Ayo bangun, bodoh.” Katanya. “Kau tahu? Ketika kau sadar nanti, maka itu akan menjadi kesadaranmu yang terakhir.”

Eris kembali menghisap rokoknya, lalu memandang ke arah langit-langit. Ia menghembuskan asap dari rokoknya melalui mulut. “Kau harusnya sadar bahwa aku jauh lebih baik daripada Gloria.” Katanya.

Kini pandangannya kembali pada Artsy. “Kini kau tahu akibatnya, kan? Kau akan mati di tanganku.” Katanya. “Dan apabila aku beruntung, Gloria juga.”

Monday, October 18, 2010

Day #15 : Skena Menjelang Skema II

“Kau yakin akan pergi, eh?” tanya Eris pada Artsy.
“Ya, aku harus pergi mencari Gloria.”
“Pergilah jika begitu!”
“Kau yakin?”
“Hah! Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu.”
“Baiklah.” Balas Artsy.

Artsy mengambil sweater hoodienya dari atas meja yang berada di ruang tengah, lalu berjalan menuju pintu depan rumah Eris.

“Ternyata benar, kau lebih memilihnya.” Tiba-tiba Eris berkata. Tatapannya tidak tertuju pada Artsy. Tatapannya kosong, lebih terlihat seperti berkata pada dirinya sendiri.
“Eris, bukan berarti aku lebih memprioritaskan Gloria pada saat ini, maka hubungan kita tidak baik, bukan?”
“Kau lebih memilihnya, Artsy.”
“Apa maksudmu? Tentu saja kau ini pacarku.”
“Hubungan kita berakhir.”
“Berakhir?”
“Ya. Berakhir!”
“Oh, Eris, jangan mempersulit keadaanku.”
“Kau yang mempersulit keadaanmu, Artsy. Hubungan kita telah berakhir.” Tegas Eris yang kini berubah menjadi kasar.

“Eris…”
“Aku pikir kau menyadari bahwa aku jauh lebih baik daripada Gloria.” Kata Eris. “Dua bulan lalu… Kau memutuskan hubunganmu dengan Gloria, lalu memintaku untuk menjadi kekasihmu. Aku kira kau telah melupakannya.”
“Eris, kau yang memintaku untuk tidak lagi berhubungan dengan Gloria!”
“Aku hanya memberi tahu keadaan mental Gloria pada saat itu, kau yang memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan Gloria.” Kata Eris. “Nyatanya, hingga kini kau masih berhubungan baik dengannya, bukan?” Tambahnya.

“Gloria baik-baik saja, Eris. Dia tidak sakit.”
“Kau tidak tahu kenyataannya, bukan?”
“Aku tahu kenyataannya. Mooney selalu menceritakan bahwa Gloria baik-baik saja, Eris.”
“Mooney? Kau benar-benar bodoh, Artsy.”
“Ah! Terserah kau, Eris. Aku harus pergi sekarang.” Balas Artsy. Lekas ia berbalik dan berjalan menuju pintu depan. Gloria… Aku harus bertemu denganmu! Harapnya dalam hati. Artsy merasakan bahwa keadaan ini semakin rumit. Dia kini dikelilingi perasaan bingung, takut, dan marah. Keadaan ini janggal. Pikirnya.

Artsy hendak membuka pintu rumah Eris. Namun, sebelum pintu itu terbuka, tiba-tiba saja kepala Artsy seperti tertimpa mesin penggiling rumput. Ia jatuh terjerembab. Dengan kesadarannya yang nyaris hilang, ia bisa melihat Eris dengan stik bisbol di tangannya. Stik bisbol yang berada dikamarnya. Pikir Artsy dengan pandangan yang mulai mengabur. Mengapa dia lakukan ini? Lalu semuanya berubah gelap.

“Kau benar-benar bodoh, Artsy.” Kata Eris sambil melihat Artsy yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas lantai rumahnya. Ada tawa kecil mengerikan yang keluar dari suara Eris. “Kau tahu? Gloria adalah urusanku!”

Day #13 - Day #14 : Skena Menjelang Skema

“Aku harus pergi.”
“Kau tak perlu pergi. Kita bisa memanggil polisi.”
“Tidak! Aku harus mencarinya… Lalu menyerahkannya pada polisi.”
“Artsy!” kata Eris sambil menarik lengan Artsy yang baru saja bangkit dari sofa tempat mereka duduk. Artsy tak memedulikannya. Dia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Eris.

“Aku harus pergi, Eris. Gloria adalah tanggung jawabku!” bentaknya.

Eris melepaskan genggamannya. Dia kini terlihat kacau. Telapak tangannya yang tadi menahan Artsy agar tidak pergi, kini menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Bahunya bergetar beriringan dengan isak tangisnya. Dia terlihat benar-benar rapuh karena diselimuti oleh rasa takut dan kekhawatiran. Baginya saat ini, Artsy adalah satu-satunya orang yang harus berada di rumahnya.

Artsy yang hendak pergi mencari Gloria, kini berdiri mematung menatap Eris. Skena ini membuatnya merasa serba salah. Dia harus mencari Gloria, tapi dia tak bisa meninggalkan Eris dalam keadaan seperti ini. Dia tahu, Mooney tak bisa membantunya saat ini. Mooney memang mengenal Eris dan Gloria. Tapi baik Eris maupun Gloria, keduanya tak begitu mengenal Mooney. Tidak mungkin Mooney bisa berinteraksi dengan kedua wanita itu. Oleh Eris dan Gloria, Mooney dianggap tidak eksis.

“Aku membutuhkanmu di sini.” Tiba-tiba Eris berkata dengan suara lemah yang nyaris menyerupai bisikan. “Eris, sejujurnya aku tak mau meninggalkanmu, tapi Gloria adalah prioritas utamaku saat ini. Aku harus mencarinya.” Kata Artsy. “Polisi bisa mencarinya!” Kini suara Eris meninggi, mencoba memberi tahu Artsy yang begitu keras ingin menemui Gloria.

“Aku harus menemukannya sebelum polisi bisa melakukannya, Eris.” Balas Artsy.
“Mengapa?”
“Aku ingin mendengarkan cerita ini langsung dari mulut Gloria. Aku tak bisa mendengar cerita ini berdasarkan hasil investigasi polisi.”
“Kau tak percaya padaku?” tanya Gloria.

Artsy terdiam sejenak. “Entahlah. Aku harus mendengarkan cerita ini dari dua sisi yang berbeda.” Katanya.
“Kau akan terbunuh!” Suara Eris kini kasar.
“Aku yakin Gloria tak akan membunuhku.”

Eris tak menjawabnya. Ekspresinya kini berubah.

***

Sudah pagi.

Gloria kini terduduk bersandar pada dinding yang ada di belakangnya. Salah satu telapak tangannya menyentuh perutnya. Ia benar-benar lapar. Aku harus mengisi perutku. Pikirnya dalam hati. Ia bangkit dengan bersusah payah. Ia berjalan beberapa blok dari tempatnya pingsan, lalu menemukan sebuah tempat makan. Ia masuk ke dalam tempat makan tersebut.

“Sarapan di pagi buta, miss? Kami baru saja buka.” Seorang pelayan berkata pada Gloria dengan keramahan yang terlihat dipaksakan. “Ya. Aku ingin memesan sebuah French Toast.” Jawabnya dengan lemah. “Dan tolong cepat, aku sedang terburu-buru.”
“Baiklah.” Balas si pelayan tersebut. Kau yakin bisa membayarnya? Pikirnya sambil beranjak menuju dapur tempat makan tersebut.

“Gelandangan lagi?” tanya seseorang pada pelayan tersebut di dapur. “Sepertinya begitu, bos.” Jawab pelayan itu.
“Sejujurnya, dia bisa terlihat cantik apabila diberi sedikit uang.” Tambah pelayan itu sambil terkekeh.
“Aku tak membayarmu untuk menceritakan lelucon.”
“Oke, bos. Aku mengerti.” Kata si pelayan itu dengan ketus.
“Tempat ini bukanlah penampungan tunawisma. Aku tak ingin dia tak membayar makanannya.”
“Semoga saja dia membayarnya, bos.” Balas pelayan itu.

Gloria bisa melihat pelayan itu baru saja bercakap-cakap dengan seseorang di dalam dapur. Orang itu kini menatap Gloria dengan pandangan yang tak ramah. Seperti inikah pelayanan di tempat ini? Pikir Gloria dalam hati.

Tempat ini benar-benar jorok. Aromanya tak sedap. Masih ada sampah-sampah kecil yang berserak di lantai abunya yang juga kotor. Mejanya tidak lagi mengilap, dan kursi yang ia duduki terasa reyot. Pelayan dari tempat ini juga tak begitu banyak. Ia baru saja menghitungnya. Hanya terlihat 4 orang pelayan dan 1 orang—yaitu orang yang menatap Gloria setelah bercakap dengan pelayan yang menanyakan pesanan gloria—yang memonitori pekerjaan 4 pelayan tersebut. Tampaknya orang itu adalah pemilik dari tempat makan ini.

Gloria lalu mengingat kejadian yang baru saja dialaminya. Baginya, buruknya pelayanan di tempat ini hanyalah selingan kecil dari kejadian dini hari tadi. Dia melihat pemilik tempat makan ini yang baru saja ia dapati sedang menatapnya dengan tajam. Kau tidak cukup menjengkelkan untuk membuatku ingin membunuhmu. Kau hanyalah masalah kecil. Pikirnya dalam hati. Dia mengingat ekspresi Eris pada dini hari tadi. Itulah wajah yang ingin kubunuh! Pikirnya.

Gloria membayangkan, Eris kini sedang menangis dan Artsy sedang memeluknya. Dasar pelacur! Pikirnya. Kau pantas untuk mati!

Thursday, October 14, 2010

Day #12 : Pre-Reprisal

Gloria berjalan di bawah bulan yang akan segera digantikan oleh venus, sang bulan pagi. Rasa dingin di malam hari benar-benar menyiksanya. Hal ini terasa semakin buruk karena t-shirt yang ia kenakan kini basah oleh keringat. Melelahkan! Pikirnya dalam hati. Tapi belum saatnya aku berhenti. Lapar yang Gloria rasakan sejak ia pergi dari ruangan muram Artsy membuatnya lemah. Dia benar-benar butuh makanan. Karenanya, sekarang kepalanya terasa berat, langkahnya terhuyung-huyung. Aku harus terus berjalan! Entah telah berapa jauh ia pergi melarikan diri dari rumah Eris. Yang jelas, ia hanya berpikir untuk pergi sejauh mungkin dari rumah itu, atau bahkan kota ini.

Langkah Gloria di atas trotoar kini semakin kacau. Kepalanya terasa akan segera pecah, mulutnya ingin sekali memuntahkan sesuatu. Aku harus bertahan! Pikirnya. Ia kini bertumpu pada sebuah dinding toko liquor. Ia terdiam, lalu jatuh di atas Trotoar.

Eris akan terhenti. Pikirnya dalam kegelapan.

***

“Aku tak tahan lagi! Semua ini harus berakhir!”
“Cobalah tenang. Aku tahu hal ini memang sulit bagimu.”
“Keadaannya semakin parah.”
“Ya. Aku tahu.”
“Apa yang harus kulakukan?”
“Menurutku, sudah saatnya kau menjauhinya.”
“Menjauhinya? Kau yakin?”
"Ya. Tentu saja. Kau terlalu sering bersama dengannya."
“Mungkin benar, seharusnya aku tak terlalu sering bersamanya.”

“Apakah maksudmu kau yakin bahwa kau akan mulai menjauh darinya?”
“Mungkin sudah saatnya. Mungkin.”
“Aku senang kau menjauhinya. Maksudku… mungkin itu akan menjadi solusi terbaik.”

***

Percakapan itu... 3 bulan kemarin.... Lalu kegelapan total.


Bersambung....

Wednesday, October 13, 2010

Day #11 : Gelap Jelang Terang

“ERIS!” Gloria mendengar teriakan Artsy dari luar rumah Eris.

Mengapa Artsy bisa tahu aku ada di sini? Tanya Gloria dalam hatinya.

Gloria melihat Eris yang kini berada di depannya diam tak bergerak dengan pisau di tangannya. Mata Eris menggambarkan rasa takut yang hebat. Cepat atau lambat, dia akan mati! Pikir Gloria dalam hati. “Kau akan tamat, Eris!” Kata Gloria. "Oh, ya? Kau mencoba membunuhku!” balas Eris dengan sengit. “Benar, kan?”

Gloria tidak membalas perkataan Eris. Kini dia hanya mencoba berpikir cepat. Aku harus melarikan diri! Tegasnya dalam hati. Dia kini berlari menuju ruang tengah dan segera menuju pintu belakang. Nafasnya tersengal-sengal. Keberadaan Artsy di depan rumah Eris membuatnya merasa tegang. Suatu saat nanti, Artsy akan mengerti. Pikir Gloria, mencoba menenangkan diri.

Gloria telah berada di depan pintu belakang. Dia langsung memutar kunci pintu yang tertempel, lalu dengan cepat membuka pintu rumah Eris. Dia sudah tamat! Pikir Gloria sambil berlari menjauhi rumah. Dia meloncati pagar kayu pembatas, lalu kembali berlari menyusuri gang yang berada di belakang rumah Eris. Sebentar lagi, Artsy akan tahu semuanya.

“Eris, buka pintunya!” Gloria dapat mendengarkan teriakan Artsy dari kejauhan.

***

Eris membuka pintu rumahnya. Dia langsung memeluk Artsy sambil menangis. Artsy bisa merasakan dekapan Eris begitu kuat, menjelaskan seberapa dalam emosi yang sedang Eris rasakan. “Gloria mencoba membunuhku!” kata Eris dalam isakannya. Tidak mungkin! Pikir Artsy.

“Dia hendak membunuhku dengan pisau dapur!” Tambah Eris sambil melepaskan pelukannya dari Artsy. Sekarang Artsy bisa melihat seberapa kacau kejadian yang baru saja terjadi, wajah Eris menggambarkannya. Selain itu, tangisan Eris pun menjelaskan bahwa dia sedang merasa ketakutan.

“Gloria bereaksi berlebihan! Mengapa dia ingin membunuhmu?” tanya Artsy kepada Eris dengan nada heran.
“Sepertinya dia ingin membunuhku karena kejadian dua bulan lalu itu.” Kata Eris. "Sekarang dia membenciku, Artsy,"
“Kejadian itu? Ya, mungkin saja.” Jawab Artsy dengan nada tak yakin. “Dimana sekarang dirinya?”
“Setelah kau berteriak, dia kabur dari rumah ini.” Jawab Eris.
“Kabur?”
“Ya. Dia kabur lewat pintu belakang rumahku.”

Sebenarnya, apa yang dia pikirkan?
Tanya Artsy dalam hatinya.
“Artsy, sebaiknya kita masuk ke dalam.” Saran Eris.
“Baiklah.” Jawab Artsy sambil berpaling dari Eris. Dia kini melihat Mooney yang sedang menggenggam ponsel berdiri di tengah pekarangan rumah Eris. "Masuk?” tanyanya pada Mooney. “Lebih baik aku di luar saja.” Jawab Mooney.

Artsy masuk ke dalam rumah. Dia langsung menuju ruang tengah. Eris, yang lebih dulu masuk ke dalam rumah, kini tengah terduduk di atas sofa di dalam ruangan tersebut. Dia masih terisak-isak. Artsy menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya.

“Jadi, bagaimana kejadiannya?” tanya Artsy. Eris menghembuskan nafas panjang, lalu duduk lebih tegap. Ia kemudian menceritakan bagaimana Gloria hampir saja membunuhnya ketika dia sedang tidur, isi percakapannya dengan Gloria ketika mereka berdua berada di dapur, serta kekonyolan Gloria yang menggunakan alasan “mencari mentega” untuk mengelak bahwa dia berencana membunuh Eris. Ia juga bercerita tentang besarnya rasa takut yang ia alami. Eris benar-benar merasa takut seandainya Gloria datang kembali untuk membunuhnya.

Setelah selesai menceritakan kejadian yang baru saja di alaminya, Eris kembali menangis. Artsy kemudian merangkulkan tangannya ke pundak Eris. “Entahlah, Eris. Kejadian ini membuatku tidak bisa berkata-kata.” Respon Artsy. “Aku merasa benar-benar bingung.”


Bersambung…

Tuesday, October 12, 2010

Day #10 : Firasat

Ada yang tak beres.

Artsy baru saja mendapatkan firasat buruk. Ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, pikirnya. Eris! Tiba-tiba saja dia terbayang akan Eris. Artsy beranjak dari depan monitor komputernya. Dia bergegas mengambil sebuah sweater hoodienya, lalu cepat-cepat keluar dari ruangan muramnya. Aku harus cepat! Pikir Artsy. Aku harus segera tiba di rumahnya. Dia berlari-lari kecil menuju parkiran tempatnya tinggal dan langsung menyalakan mesin mobilnya. Dia mengeluarkan mobilnya dari parkiran itu, lalu menancap gas menuju rumah Eris. Aku harus tiba sebelum pagi. Dia menyetir mobilnya dalam kegelisahan. Gloria… Mungkinkah dia… Artsy terus menerus memikirkan firasat buruknya dalam kegelisahan.

Artsy menyalakan sebatang rokok yang ia dapatkan dari dalam saku sweater hoodienya. Paranoia brengsek! Pikirnya. Ia tak yakin apakah ia sedang berada dalam keadaan delusional, tapi firasatnya terasa begitu nyata. Menurutnya, Gloria pasti akan menemui Eris, dan mereka berdua tak bisa lagi dikatakan akrab setelah kejadian dua bulan lalu. Ini salahku! Sesalnya dalam hati.

Jalanan pada dini hari itu benar-benar kosong. Mobil Artsy meraung kencang di tengah hembusan dingin angin malam. Dia berharap mobilnya bisa berjalan lebih cepat. Di antara keremangan lampu artifisial yang berdiri di atas trotoar jalan, ia melihat sososok bayangan hitam sedang berjalan sendirian. Mooney! Terkanya.

Dia menginjak pedal rem mobilnya dalam-dalam dan berhenti jauh dari tempat sosok itu kini berhenti berjalan. Artsy membuka kaca mobilnya. “Mooney!” teriaknya. Sosok itu mencari-cari darimana suara yang memanggilnya berasal. Dia melihat ke mobil yang dikendarai Artsy, lalu berlari menuju mobil itu. “Artsy?” Tanya sosok itu.
“Masuklah ke mobilku, Mooney! Kau pun harus ikut.” Jawab Artsy, terburu-buru.
“Ada apa, Artsy?”
“Cepatlah masuk! Aku akan menceritakannya di dalam.”
Mooney berlari-lari kecil memutari mobil Artsy untuk masuk melalui pintu depan mobil sebelah kiri.

Mooney kini terduduk di atas jok mobil Artsy. Tubuh lelaki itu ditutupi oleh sebuah jaket parka panjang berwarna hijau daun. Lehernya dilingkari oleh sebuah headphone. Dari headphone tersebut, Artsy bisa mendengarkan samar-samar suara gitar yang mirip dengan sebuah lagu milik the Who. “Ada apa?” Mooney bertanya pada Artsy.

Artsy kini kembali menginjak pedal gasnya cukup dalam. “Tampaknya Gloria bertemu dengan Eris.” Jawab Artsy. Ekspresi diwajah Mooney berubah dan mengisyaratkan ketidakpercayaan. “Kau bercanda! Darimana kau tahu?” Mooney kembali bertanya.
“Firasatku mengatakannya.”
“Oh! Jauhilah firasatmu! Aku tahu kau sedang paranoid.”
“Tidak separah itu, Mooney. Kini aku yakin dengan firasatku.”
“Berhentilah menghisap ganja!”
“Ganja bisa membuatku berpikir tajam.”
“Karena ganja, kau menjadi seperti ini.”
Artsy tak menjawabnya. Dia menginjak pedal gasnya semakin dalam. Kini mobilnya melaju semakin kencang.

“Hei! Kita bisa mati apabila kau menjalankan mobil dengan cara seperti ini.”
“Aku tak peduli. Eris….” Tiba-tiba kata-katanya terhenti.
“Kau sedang berada dalam paranoia, Artsy!” Kata Mooney.
“Aku tidak sedang paranoid!” bentak Artsy pada Mooney.
“Hei! Aku kira kau menyuruhku ikut untuk membantumu.”
Artsy tak menjawab lagi. Kini dia kembali memikirkan Eris.

Suara deru mesin mobil yang melaju kencang terdengar di telinga Mooney. Dia tak suka cara Artsy mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi. Akan tetapi, dalam keadaan seperti ini, mungkin tak ada salahnya mengendarai mobil seperti yang sedang Artsy lakukan. “Gloria… Apakah dia masih… Dia baik-baik saja bukan?” tanya Mooney pada Artsy. “Entahlah.” Jawab Artsy, pendek.

Selanjutnya, tak ada lagi percakapan antara Artsy dan Mooney di sepanjang perjalanan. Suasananya berubah hening dan hanya dipecah oleh suara deru mesin mobil yang sedang melaju kencang.

Artsy kini menginjak pedal rem mobilnya. Mobil itu kini berhenti di depan sebuah rumah dengan pekarangan depan yang kacau. “Rumah Eris.” Kata Mooney sembari tersenyum sinis. “Ya. Rumahnya.” Jawab Artsy, pelan.
“Kita masuk?” Tanya Mooney.
“Tentu saja.”

Mereka berdua kini keluar dari mobil Artsy. Artsy berjalan terlebih dahulu menuju pintu rumah Eris. Mooney, di belakangnya, kini tengah menyalakan sebatang rokok. Artsy beberapa kali mengetuk pintu rumah Eris. Tak ada jawaban. Dia terdiam sejenak, lalu kembali mengetuk pintu rumah itu. Mooney, yang kini tengah menghisap rokoknya, berjalan menghampiri Artsy. “Lampu di dalam menyala, tapi tak ada jawaban ketika aku mengetuk pintunya.” Kata Artsy kepada Mooney.
“Mungkin dia sudah tidur.”
“Mungkin saja.”
“Kita pulang?” tanya Mooney.
Artsy tak menjawab pertanyaan Mooney lagi.
“Oke, sebaiknya kita pulang, Artsy.”
Artsy mengetuk pintunya lagi. Tetap tak ada jawaban.
“Artsy, Ayolah!” kata Mooney.

Gelagat Artsy menandakan penolakan, tapi dia langsung membalikkan badannya membelakangi pintu. Dia dan Mooney berjalan menyusuri batu-batu di tengah pekarangan menuju mobil Artsy. Artsy mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya yang ia simpan di dalam saku sweater hoodie yang ia kenakan. Dia kembali berbalik menghadap rumah itu dari sebelah pintu mobilnya sambil menempelkan filter rokok tersebut ke bibirnya. Dia melihat ke dalam rumah melalui jendelanya yang tak tertutup oleh gordyn. Ada seseorang di dalam!

“ARTSY!” Tiba-tiba saja terdengar sebuah teriakan dari seseorang di dalam rumah.

Eris!

Monday, October 11, 2010

Day #7 - Day #9 : Antiklimaks

“Kau tahu bagaimana keadaaan Gloria sekarang, kan?” tanya seorang wanita pada seorang lelaki di sebuah ruangan yang muram. “Ya. Aku tahu.” Jawab lelaki itu. “Aku hanya ingin membantunya.” Tambahnya.
“Itu sangat beresiko.” Debat wanita tersebut. “Apabila suatu saat kau menyesal, maka kau akan menyesal karena mengabaikan saranku, Artsy!”
“Aku tahu. Tapi, sudah tugasku untuk tidak meninggalkannya sendirian.”
“Aku tak suka kau terus bersama dengannya!”
“Lalu apa masalahnya?” Tanya Artsy dengan keras.
“Kau terus berusaha membantunya. Itu tak mungkin berhasil, Artsy.”
“Sudah ku katakan berkali-kali, membantu Gloria adalah tugasku. Dia adalah tanggung jawabku!”
“Gloria tidak membutuhkan bantuanmu!”
“Gloria tidak membutuhkan banyak bantuanku!” Seru Artsy tak kalah sengit.
“Kau tidak pernah mengerti, Artsy.” Keluh wanita itu.
“Aku berharap kau mengerti, Eris.”

Eris tertunduk lesu, dia merasa putus asa untuk menahan Artsy yang ingin membantu Gloria. Artsy tidak dapat melihat mata Eris, tapi dia yakin bahwa Eris baru saja menjatuhkan titik-titik air mata. Artsy merangkul pundak Eris. “Sudahlah.” Kata Artsy, berharap perkataannya bisa mendinginkan suasana. “Aku tahu kau akan mengerti suatu saat nanti. Maafkan aku, Eris.” Tambahnya.

***

Eris tiba-tiba saja teringat akan perdebatannya dengan Artsy di sore itu. Dia sadar betul bahwa beberapa saat lagi, Artsy akan menyesal karena telah mengabaikan sarannya. Gloria, berdiri di samping tempat tidurnya, kini tengah mengangkat sebuah pisau dapur dan akan segera membunuhnya. Membunuhnya di rumah miliknya. Rumah yang selalu ia jadikan tempat mengasingkan diri dari hiruk pikuk sosial yang tak lagi dia gambarkan sebagai sesuatu yang harus berlangsung sebagaimana mestinya.

Tiba-tiba saja Eris bergerak dengan cepat, kedua tangannya mendorong tubuh Gloria dengan keras. Gloria jatuh terjerembab, kepalanya hampir saja membentur sudut meja. Eris beranjak dari tempat tidurnya. Dia berlari menuju ruang tengah, lalu mencari-cari sesuatu untuk mempertahankan dirinya. Dia mengeluh dalam hatinya karena baru saja dia sadari bahwa di ruang tengah rumahnya itu, tak ada satupun benda yang bisa ia jadikan alat untuk mempertahankan diri. Dia semakin panik.

Kini dia berlari menuju dapur, dia kembali mencari sesuatu untuk mempertahankan dirinya. Dia berbalik untuk melihat apakah Gloria sudah bangkit dan mengerjarnya. Sayangnya, kini Gloria telah berdiri di ambang pintu dapur.

“Apa yang kau inginkan? Mengapa kau ingin membunuhku?!” Tanya Gloria sambil berteriak. Nafasnya terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena merasa panik. Gloria, sahabatnya dari kecil—setidaknya hingga kejadian dua bulan kemarin—kini sedang menggengam sebuah pisau dan akan segera membunuhnya. Aku tahu aku salah, tapi Gloria bertindak berlebihan. Pikir Eris dalam kepanikannya.

“Jangan bodoh, Gloria! Mengapa kau ingin membunuhku?” Eris kembali bertanya.
“Membunuhmu?” kini Gloria tertawa. Tawanya dangkal, tidak menunjukkan bahwa dia akan segera membunuh Eris.
“Mengapa kau tertawa, wanita gila?”
“Oh! Aku tak suka kau memanggilku dengan sebutan seperti itu, Eris.” Jawab Gloria dengan tatapan tajam pada Eris.
"Kau memang sudah tak suka denganku sejak kejadian itu, kan?"
"Dan sekarang kau mengungkit masalah itu kembali, Eris!"
"Kau ingin membunuhku karena kejadian itu, kan?"
"Kita sudah sepakat untuk tidak membicarakannya lagi, bukan?"
"Lalu mengapa kau ingin membunuhku?"

Gloria kembali tertawa. Tawanya kini lebih keras daripada tawa dangkal sebelumnya. Eris menatap Gloria. Dia semakin panik ketika dia sadar bahwa wanita yang kini ia hadapi bukanlah wanita yang waras. Eris terisak. Dia menangisi sahabatnya yang kini telah menjadi wanita yang tak waras.

“MENGAPA KAU INGIN MEMBUNUHKU, BRENGSEK?” Eris kembali bertanya sambil berteriak.
“Siapa yang ingin membunuhmu? Aku hanya ingin bertanya, dimana kau menyimpan mentegamu. Aku benar-benar merasa lapar, dan karena tadi kau mendorongku hingga aku terjatuh, kini punggungku terasa sakit.”
“Apa?” Eris berkata sambil menatap Gloria yang kini sedang menahan tawa.”Tak ada lagikah cara yang lebih wajar untuk bertanya, Gloria?”
“Aku tak mungkin membunuhmu, kan? Mana mungkin aku melakukannya.”
“Ya! Kau memang tidak membunuhku. Tapi kau bisa saja membuat jantungku tak lagi berdetak. Aku kaget setengah mati!”
Kini Gloria tak bisa lagi menahan tawanya. Kini dia benar-benar tertawa.
“Kau memang gila!” Seru Eris.
“Dan kau lebih gila dariku.”

Friday, October 8, 2010

Day #6 : Pisau Dapur

“Kita sudah sampai.” Kata Eris. Ya. Kita sudah sampai. Jawab Gloria dalam hati. Rumah ini… sudahlah! Aku tak punya pilihan. Sebenarnya, Gloria sering menginap di rumah Eris, tapi itu dulu. Kini sudah ada jarak di antara mereka, mereka sudah tidak seakrab dulu lagi. Mereka bukan lagi sahabat.

Mereka berdua kini menyusuri batu-batu yang menuntun mereka dari pagar tanaman menuju pintu rumah. Rumah ini terletak di sebuah perumahan elite, tetapi tidak begitu banyak sudut rumah ini yang bisa mengukuhkannya sebagai rumah yang layak untuk berada di dalam perumahan elite. Sebenarnya ketika baru saja dibeli, rumah ini bukanlah rumah yang kacau. Sayang sekali, yang menempatinya adalah seorang wanita seperti Eris yang tidak tahan untuk tinggal bersama seorang ayah yang benar-benar kaya dan ibu tiri yang selalu mencemooh segala usahanya.

Eris kini mengeluarkan sebuah kunci dari salah satu saku celana jeansnya, memasukannya ke lubang kunci, lalu memutarnya sambil menarik gagang pintunya. Terbuka! Keluh Gloria. Eris melangkahkan kaki lebih dulu ke dalam rumah, Gloria menyusul di belakangnya. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?” tanya Eris kepada Gloria. “Ya. Aku tahu.” Jawab Gloria.

“Cepatlah kerjakan! Aku mulai mengantuk.” Seru Eris, sengit.
“Bisakah kau lebih ramah kepadaku, Eris?”
“Apakah membiarkanmu tinggal semalam di rumah ini tidak membuatku terlihat ramah dimatamu, Gloria?” Kata Eris, “Cepatlah kerjakan! Dan aku akan berada di tempat tidurku.”
“Baiklah. Baik… akan segera ku kerjakan.” Balas Gloria dengan cepat. Ia mencoba menghindari perdebatannya dengan Eris.

Aku bukanlah pesuruhmu! Pikir Gloria dalam hati.

Eris membuka sepatu dan kaus kakinya, lalu melempar keduanya ke sebelah meja di ruang depan. Dia membuka jaket kulitnya sambil berjalan menuju kamarnya di pojok ruang tengah. Gloria bisa melihat Eris langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, jelas sekali Eris merasa sangat mengantuk. Gloria kini berjalan menuju dapur. Dia mencoba mencari sesuatu untuk mengisi perutnya yang merasa lapar. Dia meminum segelas air mineral yang dia dapatkan dari sebuah dispenser yang terletak di sebelah kulkas dengan empat kali tegukan, lalu terbatuk-batuk kecil karena tersedak oleh air tersebut. Dia membuka lemari penyimpanan makanan, tapi dia tak melihat adanya makanan yang cocok untuk mengisi perutnya yang kelaparan. Kini dia membuka kulkas. Dia melihat 5 kaleng bir dimana salah satunya telah terbuka, entah kaleng terbuka itu masih berisi atau sudah kosong.

Dia mengeluarkan satu kaleng bir yang masih utuh dan satu buah telur. Dia kembali pada lemari penyimpanan makanan, lalu mengambil dua lapis roti tawar dari dalamnya. Dia berjalan menuju wastafel, lalu melihat sebuah pisau dapur di tempat pembuangan airnya. Dia meletakkan telur dan bir yang dia ambil sebelumnya di sebelah wastafel, lalu membilas pisau tersebut. Dia mengelapnya hingga kering. Setelah kering, dia melihat pisau itu sejenak. Dia melihatnya seperti melihat sebuah benda yang menakjubkan. Gloria kini berbalik memunggungi wastafel. Dia berjalan menuju ruang tengah sambil membawa pisau tersebut. Dari ruang tengah, dia bisa melihat Eris yang sedang mencoba untuk menghilangkan kesadarannya. Dia kembali melihat pisau tersebut. Berdiri terdiam. Lalu berjalan menuju kamar tidur Eris.

Eris diam tak bergerak di atas tempat tidurnya. Sepertinya kepala Eris memang tertempel pada bantal yang ada di baliknya. Gloria berjalan menuju dirinya secara perlahan-lahan sambil menggenggam pisau dapurnya erat-erat. Lantai ruang tengah yang dingin benar-benar terasa di telapak kaki Gloria. Dia terus berjalan, dan Eris masih tetap terdiam di atas tempat tidurnya. Disisi tempat tidur itu, sebuah patung monyet kecil yang tengah memikul batu tersimpan di atas meja. Sementara itu di sebelah patung tersebut, Gloria bisa melihat sebuah piringan kecil yang baru saja ia berikan kepada Eris sebelum sampai ke rumah ini. Compact disc itu! Pikir Gloria dalam hati.

Kini Gloria telah berada di salah satu sisi tempat tidur. Gloria terdiam sejenak. Dia melihat Eris yang sedang tertidur, dan mengingat masa-masa lalu ketika dia dan Eris masih bersahabat baik. Ingatan-ingatan tentang persahabatannya itu benar-benar indah. Sayangnya, ingatan itu cukup terganggu oleh sikap Eris yang tidak begitu ramah pada Gloria malam ini. Gloria kembali terdiam sejenak, lalu sedikit mengangkat pisaunya.

“APA YANG KAU LAKUKAN?!” Teriak Eris.


Bersambung…

Thursday, October 7, 2010

Day #5 : Pasif

Apabila bumi mempersembahkan lorong waktu, lebih baik lidah ini tak lagi kaku untuk menunjuk. Dalam kesunyian yang berulang-ulang, dan serapah akan kemunafikan, begitu pula dengan respon tatapan tak tertahankan, segalanya terlihat bodoh dalam tingkat yang tak berlangit. Telapak tangan saling bersentuhan dan lutut mulai bertekuk sebagai preparasi untuk mencegah kemungkinan jiwa ini mati di pelataran jalan. Obsesi terbentuk untuk mendalangi formalitas pendekatan emosional yang terlihat begitu konvensional. Entah apakah perlu membiaskan hati menuju opsi alternatif yang tak mampu digenggam, entah apakah anesthesia akan keberadaan dualitas dalam satu jerat kompleksitas bercahaya mulai menggerogoti nadi ini, yang jelas kebimbangan yang sarat akan posibilitas menjadi begitu nyata pada pelupuk mata yang terkoyak. Mungkin saja kematian akan terjadi dan tubuh ini akan hidup tanpa jiwa!

Wadal-wadal kini mulai menghilang. Semuanya telah menjadi imitasi yang berlalu lalang untuk kesekian kalinya. Gundah pun terulang dan jenuh jenaka mulai mencoba untuk mengendalikan sunyi. Remahan halusinasi yang teremas dalam bayang-bayang keindahan apokaliptik berubah bentuk menjadi kebahagiaan fana tampak tolol. Lampu koridor pun kini malu untuk bersinar. Mungkinkah bumi tetap ramah dengan segala keraguan ini?

Hujan mencoba mengikis makna harapan. Mayoritas kuasa propaganda yang mengakar tak bisa lagi menciptakan kepedulian. Kali ini yang diketahui hanyakah keberadaan teori sebab-akibat dari sebuah efisiensi interaksi. Pertanyaan-pertanyaan berhamburan pada meja kusam yang telah lama ditinggalkan, mengapa tak ada emosi yang terlepas dari lidah hati?

Tampak bodoh! Benar-benar bodoh! Gejolak kuat berhasrat dalam mimpi, dan sugesti pun selalu melafalkan kompresi kesunyian dalam pikiran. Oh, bebaskanlah! Mulailah mengada pada dunia yang sederhana ini! Harapan kini adalah berharap agar telapak tangan itu tergenggam dalam jemari ini.

Wednesday, October 6, 2010

Day #4 : Dialog

Bayangan itu semakin dekat, dia membawa sesuatu di tangannya. Wanita itu hanya terdiam di tempatnya berdiri. Entah mengapa, rasa takutnya tak membuat wanita itu berlari menjauh dari kejaran bayangan tersebut. Bayangan tersebut yang membawa sesuatu di tangannya. Bayangan itu semakin dekat... dekat... dan dekat. Wanita itu ingin berteriak. Oh! Terlambat! Pikirnya dalam hati. Benar-benar terlambat!

“Kau terlambat! Dan kau membuatku terkejut!” tiba-tiba saja wanita itu nyaris berteriak pada bayangan tersebut yang kini berubah menjadi wujud Gloria. Gloria, dia adalah seorang wanita yang menarik. Dia berkacamata dengan rambut hitam dan panjang terurai. Matanya bersinar cemerlang. Tubuhnya ideal dan bisa dibilang tinggi apabila dibandingkan dengan wanita lain pada umumnya. Kulitnya yang putih, terlihat sangat terawat. Dia sungguh menarik, bahkan hal itu tetap terlihat di bawah penerangan yang tidak begitu baik di malam hari ini. Kini, Gloria menggunakan sebuah t-shirt putih bertuliskan “The Suburbs” di dalam jaket kulitnya yang tak dikancingkan. Sekilas, tak ada cacat dari fisiknya, tetapi kini wajahnya menggambarkan kegalauan yang ada di dalam benaknya. Dia benar-benar kacau! Pikir wanita tersebut.

“Maafkan aku, Eris. Aku terlambat karena mencari ini.” balas Gloria sambil menunjukan barang yang sedang dipegangnya. “Bagus! Kau membawa compact disc itu!” kata Eris.
“Sekarang mana barangku?” tanya Gloria.
“Ini.” jawab Eris sambil menunjukkan sebuah barang yang baru saja ia keluarkan dari jaket kulitnya, “Benarkah kau membutuhkannya sebanyak itu?”
“Ya. Kau tahu keadaanku sekarang, kan?”
“Ya, aku mengerti. Ingatlah! Jangan pernah menyebutkan namaku sebagai pengirim barang tersebut!”
“Baiklah! Kau memang sahabat terbaikku!” balas Gloria sembari tersenyum tanggung.
“Ah, Sudahlah! Sekarang, ambil barang ini! Aku tak mau berlama-lama membawanya.”
“Terima kasih, Eris. Kuharap ini setara dengan apa yang kuberikan.” Kata Gloria sambil memberikan compact disc dan mengambil barang yang baru saja dikeluarkan oleh Eris dari dalam jaket kulitnya itu.
“Tentu saja tidak!” balas Eris dengan kasar.
Gloria menggengam barang yang baru saja diambilnya, melihat-lihatnya sekilas, lalu berkata, “Mungkin kau benar, ini sepertinya terlalu banyak.”
“Ah, terserah padamu, Gloria.”
Gloria kini terdiam
“Kemana lagi kau akan pergi?” tanya Eris.
“Aku tak tahu. Aku tak mungkin pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini.”
“Ke rumahku?” tawar Eris.
“Bolehkah? Ah, terima kasih, Eris.”
“Tak perlu berterima kasih. Ada yang perlu kau lakukan di rumahku!”
“Oh, baiklah.” Gloria tampak sedikit kecewa, tapi dia sadar bahwa tak ada pilihan lain selain bermalam di tempat Eris. Dia tak mungkin kembali ke tempat Artsy. Aku tak bisa terus bertemu dengannya, pikirnya, itu bisa merusak rencanaku!


Bersambung...

Tuesday, October 5, 2010

Day #3 : Mysterons

Ruangan muram ini terasa semakin sunyi setelah Gloria pergi. Apa sebenarnya yang akan dia lakukan di tengah malam seperti ini? pikir Artsy. Linting cannabis kering yang dia hisap baru saja habis. Dia membakar sisa pahpir yang tersisa untuk menghilangkan bukti, lalu menyemprotkan pengharum ruangan agar aroma cannabis yang baru saja dibakarnya tidak begitu tercium tajam. Artsy meloncat ke tempat tidurnya, terlentang, lalu menyalakan sebatang rokok. Dia menghisap rokoknya, lalu memikirkan Gloria yang sedang dipenuhi oleh beban pikiran. Kasihan, pikirnya, tapi ini bukan urusanku. Aku tak boleh ikut campur!

Kini ruangan itu dibisiki oleh pemutar musik yang mengeluarkan suara vokal emosional milik Beth Gibbons yang tengah menyanyikan Mysterons. “Refuse to surrender, Strung out until ripped apart.” Bisik Beth. Dengarlah ini, Gloria! harap Artsy. Gloria telah merusak konsentrasi Artsy dalam Law of Attraction-nya. Artsy terus menerus memikirkan Gloria, dia ingin sekali menghiburnya, tapi caranya bukan dengan memberikan cannabis yang terbakar kepadanya. Ada cara lain yang jauh lebih baik.

“Maafkan aku, Gloria.” Dia teringat percakapannya dengan Gloria di sore hari, “Itu bukan urusanku. Aku tak bisa membantumu sepenuhnya.” Ada penyesalan di wajah Artsy. “Sudahlah, aku hanya bercerita padamu. Aku tak mengharapkan banyak bantuanmu.” Kata Gloria dengan penekanan di kata “banyak”. Wajah Artsy sedikit mengejang, dia tahu Gloria tidak begitu membutuhkan bantuannya. Hanya sedikit. pikir Artsy.

Bersambung…