Monday, October 18, 2010

Day #13 - Day #14 : Skena Menjelang Skema

“Aku harus pergi.”
“Kau tak perlu pergi. Kita bisa memanggil polisi.”
“Tidak! Aku harus mencarinya… Lalu menyerahkannya pada polisi.”
“Artsy!” kata Eris sambil menarik lengan Artsy yang baru saja bangkit dari sofa tempat mereka duduk. Artsy tak memedulikannya. Dia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Eris.

“Aku harus pergi, Eris. Gloria adalah tanggung jawabku!” bentaknya.

Eris melepaskan genggamannya. Dia kini terlihat kacau. Telapak tangannya yang tadi menahan Artsy agar tidak pergi, kini menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Bahunya bergetar beriringan dengan isak tangisnya. Dia terlihat benar-benar rapuh karena diselimuti oleh rasa takut dan kekhawatiran. Baginya saat ini, Artsy adalah satu-satunya orang yang harus berada di rumahnya.

Artsy yang hendak pergi mencari Gloria, kini berdiri mematung menatap Eris. Skena ini membuatnya merasa serba salah. Dia harus mencari Gloria, tapi dia tak bisa meninggalkan Eris dalam keadaan seperti ini. Dia tahu, Mooney tak bisa membantunya saat ini. Mooney memang mengenal Eris dan Gloria. Tapi baik Eris maupun Gloria, keduanya tak begitu mengenal Mooney. Tidak mungkin Mooney bisa berinteraksi dengan kedua wanita itu. Oleh Eris dan Gloria, Mooney dianggap tidak eksis.

“Aku membutuhkanmu di sini.” Tiba-tiba Eris berkata dengan suara lemah yang nyaris menyerupai bisikan. “Eris, sejujurnya aku tak mau meninggalkanmu, tapi Gloria adalah prioritas utamaku saat ini. Aku harus mencarinya.” Kata Artsy. “Polisi bisa mencarinya!” Kini suara Eris meninggi, mencoba memberi tahu Artsy yang begitu keras ingin menemui Gloria.

“Aku harus menemukannya sebelum polisi bisa melakukannya, Eris.” Balas Artsy.
“Mengapa?”
“Aku ingin mendengarkan cerita ini langsung dari mulut Gloria. Aku tak bisa mendengar cerita ini berdasarkan hasil investigasi polisi.”
“Kau tak percaya padaku?” tanya Gloria.

Artsy terdiam sejenak. “Entahlah. Aku harus mendengarkan cerita ini dari dua sisi yang berbeda.” Katanya.
“Kau akan terbunuh!” Suara Eris kini kasar.
“Aku yakin Gloria tak akan membunuhku.”

Eris tak menjawabnya. Ekspresinya kini berubah.

***

Sudah pagi.

Gloria kini terduduk bersandar pada dinding yang ada di belakangnya. Salah satu telapak tangannya menyentuh perutnya. Ia benar-benar lapar. Aku harus mengisi perutku. Pikirnya dalam hati. Ia bangkit dengan bersusah payah. Ia berjalan beberapa blok dari tempatnya pingsan, lalu menemukan sebuah tempat makan. Ia masuk ke dalam tempat makan tersebut.

“Sarapan di pagi buta, miss? Kami baru saja buka.” Seorang pelayan berkata pada Gloria dengan keramahan yang terlihat dipaksakan. “Ya. Aku ingin memesan sebuah French Toast.” Jawabnya dengan lemah. “Dan tolong cepat, aku sedang terburu-buru.”
“Baiklah.” Balas si pelayan tersebut. Kau yakin bisa membayarnya? Pikirnya sambil beranjak menuju dapur tempat makan tersebut.

“Gelandangan lagi?” tanya seseorang pada pelayan tersebut di dapur. “Sepertinya begitu, bos.” Jawab pelayan itu.
“Sejujurnya, dia bisa terlihat cantik apabila diberi sedikit uang.” Tambah pelayan itu sambil terkekeh.
“Aku tak membayarmu untuk menceritakan lelucon.”
“Oke, bos. Aku mengerti.” Kata si pelayan itu dengan ketus.
“Tempat ini bukanlah penampungan tunawisma. Aku tak ingin dia tak membayar makanannya.”
“Semoga saja dia membayarnya, bos.” Balas pelayan itu.

Gloria bisa melihat pelayan itu baru saja bercakap-cakap dengan seseorang di dalam dapur. Orang itu kini menatap Gloria dengan pandangan yang tak ramah. Seperti inikah pelayanan di tempat ini? Pikir Gloria dalam hati.

Tempat ini benar-benar jorok. Aromanya tak sedap. Masih ada sampah-sampah kecil yang berserak di lantai abunya yang juga kotor. Mejanya tidak lagi mengilap, dan kursi yang ia duduki terasa reyot. Pelayan dari tempat ini juga tak begitu banyak. Ia baru saja menghitungnya. Hanya terlihat 4 orang pelayan dan 1 orang—yaitu orang yang menatap Gloria setelah bercakap dengan pelayan yang menanyakan pesanan gloria—yang memonitori pekerjaan 4 pelayan tersebut. Tampaknya orang itu adalah pemilik dari tempat makan ini.

Gloria lalu mengingat kejadian yang baru saja dialaminya. Baginya, buruknya pelayanan di tempat ini hanyalah selingan kecil dari kejadian dini hari tadi. Dia melihat pemilik tempat makan ini yang baru saja ia dapati sedang menatapnya dengan tajam. Kau tidak cukup menjengkelkan untuk membuatku ingin membunuhmu. Kau hanyalah masalah kecil. Pikirnya dalam hati. Dia mengingat ekspresi Eris pada dini hari tadi. Itulah wajah yang ingin kubunuh! Pikirnya.

Gloria membayangkan, Eris kini sedang menangis dan Artsy sedang memeluknya. Dasar pelacur! Pikirnya. Kau pantas untuk mati!

No comments:

Post a Comment