Wednesday, October 20, 2010

Day #17 : Kalamis

Debu menciptakan kelu pada sebuah skena di mana api sejari bercahaya dari atas altar. Sunyi sepi dan suram mencoba bercerita pilu bersama angin-angin malam yang melintas keliru. Roman-roman dramatis pun tercipta, tergambar sebuah bayangan ruang tak bertuan yang menjadi pesohor di kediaman para-tuan. Ya! Artistika pada sebuah halam yang tak lagi menjabarkan kalam-kalam beraut. Sebuah arena di mana hati meminta luka digantikan pusaka penuh rasa.

Emis kini bertekuk lutut pada sebuah junjungan kosong dan meminta alam menunjuk satu hawa sebagai rusuk. Bersatu dalam malu yang menjurang pada rendahnya waktu untuk memutar gelap dan terang. Maka, tertunjuklah satu jemari untuk menunjuk satu. Memilah dan memilih serdadu yang juga berjuang mencari fenomena lain selain kosmos, lalu bergandengan tangan menyapa matahari di luar parit ketakutan. Ketakutan untuk berjalan seorang diri.

Wadal-wadal kini terkumpul pada sebuah wahana goliathik yang mengakar hingga ujung bumi seberang. Menyebabkan terciptanya penyeragaman stigma bahwa emis adalah pemilih dan pencari. Pencari yang sebelumnya harus berjuang menyusuri voida hingga akhirnya muncul pada sebuah horizon kepekaan.Kepekaan untuk memilah dan memilih, setelah sebelumnya tertunjuk untuk menunjuk dengan kepekaan. Sesungguhnya, emis berjalan dalam sebuah siklus bundaran yang hanya tersingkap setengahnya di atas marble.

No comments:

Post a Comment