Monday, October 11, 2010

Day #7 - Day #9 : Antiklimaks

“Kau tahu bagaimana keadaaan Gloria sekarang, kan?” tanya seorang wanita pada seorang lelaki di sebuah ruangan yang muram. “Ya. Aku tahu.” Jawab lelaki itu. “Aku hanya ingin membantunya.” Tambahnya.
“Itu sangat beresiko.” Debat wanita tersebut. “Apabila suatu saat kau menyesal, maka kau akan menyesal karena mengabaikan saranku, Artsy!”
“Aku tahu. Tapi, sudah tugasku untuk tidak meninggalkannya sendirian.”
“Aku tak suka kau terus bersama dengannya!”
“Lalu apa masalahnya?” Tanya Artsy dengan keras.
“Kau terus berusaha membantunya. Itu tak mungkin berhasil, Artsy.”
“Sudah ku katakan berkali-kali, membantu Gloria adalah tugasku. Dia adalah tanggung jawabku!”
“Gloria tidak membutuhkan bantuanmu!”
“Gloria tidak membutuhkan banyak bantuanku!” Seru Artsy tak kalah sengit.
“Kau tidak pernah mengerti, Artsy.” Keluh wanita itu.
“Aku berharap kau mengerti, Eris.”

Eris tertunduk lesu, dia merasa putus asa untuk menahan Artsy yang ingin membantu Gloria. Artsy tidak dapat melihat mata Eris, tapi dia yakin bahwa Eris baru saja menjatuhkan titik-titik air mata. Artsy merangkul pundak Eris. “Sudahlah.” Kata Artsy, berharap perkataannya bisa mendinginkan suasana. “Aku tahu kau akan mengerti suatu saat nanti. Maafkan aku, Eris.” Tambahnya.

***

Eris tiba-tiba saja teringat akan perdebatannya dengan Artsy di sore itu. Dia sadar betul bahwa beberapa saat lagi, Artsy akan menyesal karena telah mengabaikan sarannya. Gloria, berdiri di samping tempat tidurnya, kini tengah mengangkat sebuah pisau dapur dan akan segera membunuhnya. Membunuhnya di rumah miliknya. Rumah yang selalu ia jadikan tempat mengasingkan diri dari hiruk pikuk sosial yang tak lagi dia gambarkan sebagai sesuatu yang harus berlangsung sebagaimana mestinya.

Tiba-tiba saja Eris bergerak dengan cepat, kedua tangannya mendorong tubuh Gloria dengan keras. Gloria jatuh terjerembab, kepalanya hampir saja membentur sudut meja. Eris beranjak dari tempat tidurnya. Dia berlari menuju ruang tengah, lalu mencari-cari sesuatu untuk mempertahankan dirinya. Dia mengeluh dalam hatinya karena baru saja dia sadari bahwa di ruang tengah rumahnya itu, tak ada satupun benda yang bisa ia jadikan alat untuk mempertahankan diri. Dia semakin panik.

Kini dia berlari menuju dapur, dia kembali mencari sesuatu untuk mempertahankan dirinya. Dia berbalik untuk melihat apakah Gloria sudah bangkit dan mengerjarnya. Sayangnya, kini Gloria telah berdiri di ambang pintu dapur.

“Apa yang kau inginkan? Mengapa kau ingin membunuhku?!” Tanya Gloria sambil berteriak. Nafasnya terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena merasa panik. Gloria, sahabatnya dari kecil—setidaknya hingga kejadian dua bulan kemarin—kini sedang menggengam sebuah pisau dan akan segera membunuhnya. Aku tahu aku salah, tapi Gloria bertindak berlebihan. Pikir Eris dalam kepanikannya.

“Jangan bodoh, Gloria! Mengapa kau ingin membunuhku?” Eris kembali bertanya.
“Membunuhmu?” kini Gloria tertawa. Tawanya dangkal, tidak menunjukkan bahwa dia akan segera membunuh Eris.
“Mengapa kau tertawa, wanita gila?”
“Oh! Aku tak suka kau memanggilku dengan sebutan seperti itu, Eris.” Jawab Gloria dengan tatapan tajam pada Eris.
"Kau memang sudah tak suka denganku sejak kejadian itu, kan?"
"Dan sekarang kau mengungkit masalah itu kembali, Eris!"
"Kau ingin membunuhku karena kejadian itu, kan?"
"Kita sudah sepakat untuk tidak membicarakannya lagi, bukan?"
"Lalu mengapa kau ingin membunuhku?"

Gloria kembali tertawa. Tawanya kini lebih keras daripada tawa dangkal sebelumnya. Eris menatap Gloria. Dia semakin panik ketika dia sadar bahwa wanita yang kini ia hadapi bukanlah wanita yang waras. Eris terisak. Dia menangisi sahabatnya yang kini telah menjadi wanita yang tak waras.

“MENGAPA KAU INGIN MEMBUNUHKU, BRENGSEK?” Eris kembali bertanya sambil berteriak.
“Siapa yang ingin membunuhmu? Aku hanya ingin bertanya, dimana kau menyimpan mentegamu. Aku benar-benar merasa lapar, dan karena tadi kau mendorongku hingga aku terjatuh, kini punggungku terasa sakit.”
“Apa?” Eris berkata sambil menatap Gloria yang kini sedang menahan tawa.”Tak ada lagikah cara yang lebih wajar untuk bertanya, Gloria?”
“Aku tak mungkin membunuhmu, kan? Mana mungkin aku melakukannya.”
“Ya! Kau memang tidak membunuhku. Tapi kau bisa saja membuat jantungku tak lagi berdetak. Aku kaget setengah mati!”
Kini Gloria tak bisa lagi menahan tawanya. Kini dia benar-benar tertawa.
“Kau memang gila!” Seru Eris.
“Dan kau lebih gila dariku.”

No comments:

Post a Comment