Tuesday, October 26, 2010

Day #22 : Impian dan Douchebag

Sebenarnya tidak salah bahwa kita mendambakan sebuah masa depan yang lebih baik untuk diri kita, setidaknya kita bisa mewariskannya kepada anak cucu kita di kemudian hari apabila kita tidak sempat merasakannya di saat kita masih hidup. Masa depan ini layaknya sebuah imperialisme individu dengan jargon “gold, gospel, and glory,” karena kita ingin hidup (lebih) mapan dalam hal ekonomi, sosial, dan spiritual pada suatu saat nanti.

Semua hal mengenai peruntungan di kemudian hari ini seharusnya berawal dari diri kita sendiri, karena kita semua tahu bahwa impian itu bersifat “tidak kenal mereka,” tetapi lebih mengedepankan “untuk saya.” Apa yang kita dapat di kemudian hari adalah manifesto usaha yang kita lakukan di waktu sebelumnya.

Apabila kita seorang nasionalis yang cenderung fasis, ataupun agamis yang lebih terlihat seperti fanatis radikal, semua impian tersebut akhirnya memiliki tendensi untuk berubah menjadi sebuah impian dengan skala lebih luas dalam sebuah naungan kolektif yang cukup besar pula. Dengan sebuah komunitas yang dibakar oleh spirit impian yang sama, maka orang-orang yang ada di dalamnya pun akan mengamini apa yang dikatakan oleh seseorang di antaranya, kecuali apabila pemimpin dalam kolektif tersebut lebih berorientasi pada persenggamaan diri dengan target pribadi.

Mungkin kita bisa lihat bahwa oknum yang merajalela di jalanan kini tergabung pada sebuah kelompok assholes-yang-ingin-terlihat-bad-ass dengan segala douchebaggery-nya yang lengkap dengan kerikil-kerikil ataupun botol kecap dengan bensin dalam konsep kapilaritas. Mengatasnamakan “the One” dalam pengejawantahan impian kolektif, lalu mengedarkan propaganda pemberontakan serta provokasi yang menyulut ketidakstabilan hidup dalam kemasyarakatannya yang rentan terhadap perselisihan. Egoisme individu memang berbahaya, tetapi hal tersebut tak ada apa-apanya dibandingkan dengan egoisme kelompok.

Catatan sejarah serta pemikiran-pemikiran yang mengakar pada sebuah paham left-wing sangat memahami bahwa apa yang mereka lakukan dalam program-program sistematisnya adalah sebuah respon kekecewaan terhadap humanity and freedom yang tidak berjalan sesuai harapan. Namun apabila kita menahbiskan seorang achterlijk sebagai kepala dari pergerakan, dan terlanjur kita merapat pada barisan terdepan perlawanan maka kita telah terperangkap juga pada tindakan douchebaggery yang akan dilakukan oleh para Mooselinis tersebut.

Orientasi kumpulan nyawa ini mungkin lebih berorientasi pada movement DIY (Do It Yourself) ala anarkis, daripada menyadari ungkapan “just be yourself” yang sudah punah dimakan waktu. Mungkin rekaan yang tepat pada masa—yang sekarang sering disebut sebagai posmo—ini adalah ungkapan, “Nothing of me is original. I am the combined effort of everyone I've ever known.” dari seorang Chuck Palahniuk. Maka, kelompok ini pun mencampuradukan semua garis-garis lurus menjadi sebuah garis amburadul nan absurd sebagai sebuah teori pembenaran akan “pembangkangan” yang mereka lakukan. Dan mereka merasa bangga melakukan douchebangin’.

Kembali pada konsep impian, seharusnya kita menyadari bahwa kita lebih baik melakukan usaha-usaha yang membuat diri kita lebih mapan di kemudian hari, bukan merakit masa depan yang berbicara tentang “hal itu,” “mereka,” ataupun “urusan kami.” Setelah memapankan diri, baru kita bisa berbicara bahwa “aku bisa mengubah semua itu.”

Mengapa tetap disebut demonstrasi mahasiswa? Padahal hanya segelintir douchebag-fasis-tanpa-gelar-sarjana yang berdiri membuat kerumunan di tengah demonstrasi tersebut.

No comments:

Post a Comment