Sunday, November 7, 2010

Sesal

Dulu, Dia adalah bentangan keraguan yang menindas harapan melalui bendera setengah tiang. Sebuah konsep metamorfisma dalam kompleksitas lawatan keranda. Pada saat itu, Kami tengah terdiam mati, kadang terhisap sepi. Kami baru berjalan dalam kekosongan malam yang menusuk tulang dengan pelipis yang menghitam di saat Ulat terlihat meragu mengundang polemik kegalauan Cupidius. Kami sempat menghampiri si Ulat, menyapa dan berharap dapat mencumbunya dengan naluri yang bertaruh ragu. Tapi sayang, Kami kembali terdiam ketika melihat Ulat tergeli-geli oleh gombalan tetes embun pagi. Kami terus terdiam, terdiam hingga beberapa saat setelah itu. Saat ketika sang Ulat bukanlah lagi ulat, melainkan seekor Kupu-Kupu yang melayang liar di antara bunga-bungaan berduri tajam.

Kami menatap meratap. Kami tak indahkan Ulat di masa lalu, malah mengebiri nafsu dan mencari mangsa di tempat lain. Kami terpaku, Kami ingin memprotes jiwa Kami yang tak berdiri tegap di tengah guyonan tentang si buruk yang tak bisa menjadi Yin dari sang buruk lainnya. Tapi itu dulu, sekarang nihil sudah adanya si buruk dan sang buruk, yang ada kini adalah pesona dan perubahan.

Jelas Kami tak terima perilaku hasrat Kami yang tak berterima, rindu Kami hanya pada Kupu-Kupu yang merendam waktu hingga terasa melar dan tak berarti lagi. Sesungguhnya, saat ini Kami ingin mengencani Kupu-Kupu dan mendandaninya hingga tampak seperti Lily yang terbungkus satin halus, bukan sutra terkoyak yang dipenuhi tapak telapak tangan di belakangnya. Kami ingin mencoba melakukannya lagi.

Thursday, November 4, 2010

Day #30 : Akhir Kata

Akhirnya, sampai juga di angka 30 dari program #30harimenulis. Setelah tulisan ini, saya tidak perlu lagi pikir-pikir panjang hanya untuk menentukan mana yang akan dikerjakan terlebih dahulu, tulisan untuk #30harimenulis atau tugas-tugas kuliah yang kebetulan sedang edan-edannya pada semester ini. Sebenarnya, berakhirnya program ini bagi saya akan terasa menyenangkan karena setelah ini tak ada lagi “beban” tambahan di hari-hari saya, tapi beberapa hari selanjutnya pasti akan terasa aneh karena jari-jari saya tidak akan menyentuh keyboard sesering 30 hari terakhir ini.

Sebelum saya memulai program ini, saya merasa benar-benar ragu untuk ikut berpartisipasi. Karena saya adalah orang yang tidak konsisten (dalam menulis) dan 30 hari itu bukanlah waktu yang singkat untuk terus menerus menulis, maka akan sulit rasanya untuk lulus dari program ini. Kenyataannya, saya mencapai hari ketiga puluh walaupun hasilnya entah saya lulus ataupun tidak dari program ini—saya sempat bolos menulis sebanyak 3-4 kali karena tidak adanya koneksi internet, tugas yang menumpuk, dan juga rasa malas untuk mencari ide. Haha.

Tulisan-tulisan di awal #30harimenulis saya adalah sebuah cerita bersambung—dan hingga saat ini tidak saya lanjutkan lagi karena alur yang saya ceritakan mulai tak terarah karena (lagi-lagi) saya tidak konsisten. Tulisan yang bercerita tentang Artsy, Gloria, dan Eris—oh, ya! Dan juga Mooney—tersebut, semakin hari memang semakin payah. Ketiga dari empat nama tokoh cerita itu sebenarnya saya adaptasi dari konsep imperialisme, yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Gold diwakili oleh Mooney (plesetan dari money walaupun lebih mirip Moon-ey), Glory diwakili Gloria, dan Eris untuk Gospel—sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara Gospel dan Eris, hanya saja saya tetap memaksakan nama tersebut karena Eris adalah salah satu anggota dedewian dari mitologi Yunani. Sementara itu, Artsy adalah plesetan dari kata Art dari bahasa Inggris. Saya ingin membuat cerita dengan tokoh-tokoh yang terdiri dari pengidap schizoprenia, wanita psikopat, dan seorang innocent-person-who-looks-guilty. Sebenarnya, sudah ada premis dan bayangan akan seperti apa tulisan ini ke depannya, namun (kembali lagi) masalah ke-konsisten-an saya mengubah alur dan rencana awal dari tulisan ini. Setelah tidak lagi melanjutkan cerita tersebut, saya hanya menulis tulisan semacam yang sering saya tulis sebelum program ini saya jalani.

Kalau merasa tidak konsisten, kenapa nekat ikut #30harimenulis?

Tujuan saya mengikuti program ini bukan untuk mencari sensasi, membudayakan menulis sebagai hobi, atau sekedar iseng doang. Saya menulis selama 30 hari secara (tidak selalu) terus menerus adalah manifestasi dari tidak pernah beresnya tulisan yang saya coba tulis selama empat bulan terakhir (yang ini tidak terus menerus), sebelum 30 hari terakhir ini. Sebenarnya tujuan saya lebih mirip dengan pembalasan dendam terhadap kinerja otak dan jari-jari saya (selama masa tidak produktif itu) yang tidak pernah mencoba untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Saya hanya bisa memulai, tapi tak bisa mengakhiri. Saya ingin otak saya bisa menjelajah liar lagi mencari ide-ide untuk dituliskan ke dalam MS Word lalu diposting melalui blog. Hasilnya cukup memuaskan. Bukan karena bagus atau tidaknya tulisan saya, tapi karena munculnya produktivitas yang dirangsang program #30harimenulis ini.

Apa yang bisa dipelajari dari program ini?

Bahwa kita akan berhasil melakukan sesuatu jika kita memiliki kemauan… dan deadline. :p

Ingin melakukannya lagi?

Serius, suatu saat nanti, saya ingin memulai fase kedua dari program #30harimenulis. Akan menyenangkan sekaligus merepotkan. Yang jelas, saya akan merasa kangen dengan program ini.

Pada tulisan terakhir dari program #30harimenulis ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih bagi mereka yang mencetuskan program ini, juga kepada kalian yang pernah, sering, ataupun tidak sengaja membuka blog ini. Semoga di kemudian hari teman-teman masih berkenan dan tidak merasa bosan dengan isi dari blog ini.

Cheerio,
5 November 2010

Wednesday, November 3, 2010

Day #29 : Eikóna II

Terpaku. Terdiam tak bergerak di tengah tarian janggal Eikóna yang mengubah arena suram menjadi temaram; menyebabkan timbulnya cengang oleh pesona yang rasuk dan menekan jantung hingga nyaris pecah.

Eikóna sebagai mentari pagi menyingkirkan sepi dan gelap. Menyapa rangkatan penera awal hari, lalu bercermin pada Venus yang mengiring. Eikóna sedikit berlari sambil menggetarkan dagu yang berunduk. Di tengah kreasinya, lulabi tak lagi mengada pada kesucian terbitnya terang. Onggokan tanah pun berganti peran dengan monitor televisi, mengubah imajinasi menjadi fakta terekayasa.

Eikóna bersiap menggantungkan diri di antara awan. Sesajian sudah berserak di bawahnya.

Tuesday, November 2, 2010

Day #28 : Eikóna

Eikóna! Sebuah anomali dalam kekakuan perspektif. Menggambarkan sebuah kesempurnaan dari ketidaksempurnaan; sebuah daya pikat penuh misteri yang selalu menyajikan serapah-serapah; juga sebagai kompleksitas dari kesemuan daya tarik berias. Eikóna adalah sebuah kepastian di tengah keraguan.

Eikóna adalah penggantung harapan para pengharap; penjamin keberadaan rasa tenang dengan mengusik ketenangan para peminta tenang. Eikóna mengubah mimpi menjadi paduan amore, ferine, dan libido. Eikóna adalah bencana, asa, dan juga kasih. Eikóna ibarat lumpur hisap; terdiam tergenang, terinjak tenggelam.

Eikóna… ibarat Hera yang bergabung dengan Aphrodite dan Artemis.

Monday, November 1, 2010

Day #27 : Apokalipso Klise

Satu mentari melukiskan kanal yang penuh oleh getah aurora. Mengalir menuju muara yang bergenang dengan tenang. Tiada indah akan kataklismik yang berulang, hingga akhirnya gemericik air mulai mengubah rasi menjadi benderang. Tumpul otak ketika berpikir untuk menjadi jaring yang meradang.

Renjana kini mengancuk dengan masa-masa yang terlewat. Menyebabkan jemari terkikis oleh kubus-kubus alfabet yang menyaru. Pangkal rasa tak terubah, pupil tetap tertuju pada jantung hati yang tertambat di tengah dalaman.

Lulabi terus menuntun mata tertutup menuju kebangkitan zohrah. Berjuang melayang untuk menggapai atap apokaliptik yang merenggang. Ruang kini lebih terlihat seperti sahara yang tak berujung, waktu kini terasa seperti kala bidak yang lama tak bergerak.