Thursday, October 7, 2010

Day #5 : Pasif

Apabila bumi mempersembahkan lorong waktu, lebih baik lidah ini tak lagi kaku untuk menunjuk. Dalam kesunyian yang berulang-ulang, dan serapah akan kemunafikan, begitu pula dengan respon tatapan tak tertahankan, segalanya terlihat bodoh dalam tingkat yang tak berlangit. Telapak tangan saling bersentuhan dan lutut mulai bertekuk sebagai preparasi untuk mencegah kemungkinan jiwa ini mati di pelataran jalan. Obsesi terbentuk untuk mendalangi formalitas pendekatan emosional yang terlihat begitu konvensional. Entah apakah perlu membiaskan hati menuju opsi alternatif yang tak mampu digenggam, entah apakah anesthesia akan keberadaan dualitas dalam satu jerat kompleksitas bercahaya mulai menggerogoti nadi ini, yang jelas kebimbangan yang sarat akan posibilitas menjadi begitu nyata pada pelupuk mata yang terkoyak. Mungkin saja kematian akan terjadi dan tubuh ini akan hidup tanpa jiwa!

Wadal-wadal kini mulai menghilang. Semuanya telah menjadi imitasi yang berlalu lalang untuk kesekian kalinya. Gundah pun terulang dan jenuh jenaka mulai mencoba untuk mengendalikan sunyi. Remahan halusinasi yang teremas dalam bayang-bayang keindahan apokaliptik berubah bentuk menjadi kebahagiaan fana tampak tolol. Lampu koridor pun kini malu untuk bersinar. Mungkinkah bumi tetap ramah dengan segala keraguan ini?

Hujan mencoba mengikis makna harapan. Mayoritas kuasa propaganda yang mengakar tak bisa lagi menciptakan kepedulian. Kali ini yang diketahui hanyakah keberadaan teori sebab-akibat dari sebuah efisiensi interaksi. Pertanyaan-pertanyaan berhamburan pada meja kusam yang telah lama ditinggalkan, mengapa tak ada emosi yang terlepas dari lidah hati?

Tampak bodoh! Benar-benar bodoh! Gejolak kuat berhasrat dalam mimpi, dan sugesti pun selalu melafalkan kompresi kesunyian dalam pikiran. Oh, bebaskanlah! Mulailah mengada pada dunia yang sederhana ini! Harapan kini adalah berharap agar telapak tangan itu tergenggam dalam jemari ini.

No comments:

Post a Comment