Tuesday, October 12, 2010

Day #10 : Firasat

Ada yang tak beres.

Artsy baru saja mendapatkan firasat buruk. Ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, pikirnya. Eris! Tiba-tiba saja dia terbayang akan Eris. Artsy beranjak dari depan monitor komputernya. Dia bergegas mengambil sebuah sweater hoodienya, lalu cepat-cepat keluar dari ruangan muramnya. Aku harus cepat! Pikir Artsy. Aku harus segera tiba di rumahnya. Dia berlari-lari kecil menuju parkiran tempatnya tinggal dan langsung menyalakan mesin mobilnya. Dia mengeluarkan mobilnya dari parkiran itu, lalu menancap gas menuju rumah Eris. Aku harus tiba sebelum pagi. Dia menyetir mobilnya dalam kegelisahan. Gloria… Mungkinkah dia… Artsy terus menerus memikirkan firasat buruknya dalam kegelisahan.

Artsy menyalakan sebatang rokok yang ia dapatkan dari dalam saku sweater hoodienya. Paranoia brengsek! Pikirnya. Ia tak yakin apakah ia sedang berada dalam keadaan delusional, tapi firasatnya terasa begitu nyata. Menurutnya, Gloria pasti akan menemui Eris, dan mereka berdua tak bisa lagi dikatakan akrab setelah kejadian dua bulan lalu. Ini salahku! Sesalnya dalam hati.

Jalanan pada dini hari itu benar-benar kosong. Mobil Artsy meraung kencang di tengah hembusan dingin angin malam. Dia berharap mobilnya bisa berjalan lebih cepat. Di antara keremangan lampu artifisial yang berdiri di atas trotoar jalan, ia melihat sososok bayangan hitam sedang berjalan sendirian. Mooney! Terkanya.

Dia menginjak pedal rem mobilnya dalam-dalam dan berhenti jauh dari tempat sosok itu kini berhenti berjalan. Artsy membuka kaca mobilnya. “Mooney!” teriaknya. Sosok itu mencari-cari darimana suara yang memanggilnya berasal. Dia melihat ke mobil yang dikendarai Artsy, lalu berlari menuju mobil itu. “Artsy?” Tanya sosok itu.
“Masuklah ke mobilku, Mooney! Kau pun harus ikut.” Jawab Artsy, terburu-buru.
“Ada apa, Artsy?”
“Cepatlah masuk! Aku akan menceritakannya di dalam.”
Mooney berlari-lari kecil memutari mobil Artsy untuk masuk melalui pintu depan mobil sebelah kiri.

Mooney kini terduduk di atas jok mobil Artsy. Tubuh lelaki itu ditutupi oleh sebuah jaket parka panjang berwarna hijau daun. Lehernya dilingkari oleh sebuah headphone. Dari headphone tersebut, Artsy bisa mendengarkan samar-samar suara gitar yang mirip dengan sebuah lagu milik the Who. “Ada apa?” Mooney bertanya pada Artsy.

Artsy kini kembali menginjak pedal gasnya cukup dalam. “Tampaknya Gloria bertemu dengan Eris.” Jawab Artsy. Ekspresi diwajah Mooney berubah dan mengisyaratkan ketidakpercayaan. “Kau bercanda! Darimana kau tahu?” Mooney kembali bertanya.
“Firasatku mengatakannya.”
“Oh! Jauhilah firasatmu! Aku tahu kau sedang paranoid.”
“Tidak separah itu, Mooney. Kini aku yakin dengan firasatku.”
“Berhentilah menghisap ganja!”
“Ganja bisa membuatku berpikir tajam.”
“Karena ganja, kau menjadi seperti ini.”
Artsy tak menjawabnya. Dia menginjak pedal gasnya semakin dalam. Kini mobilnya melaju semakin kencang.

“Hei! Kita bisa mati apabila kau menjalankan mobil dengan cara seperti ini.”
“Aku tak peduli. Eris….” Tiba-tiba kata-katanya terhenti.
“Kau sedang berada dalam paranoia, Artsy!” Kata Mooney.
“Aku tidak sedang paranoid!” bentak Artsy pada Mooney.
“Hei! Aku kira kau menyuruhku ikut untuk membantumu.”
Artsy tak menjawab lagi. Kini dia kembali memikirkan Eris.

Suara deru mesin mobil yang melaju kencang terdengar di telinga Mooney. Dia tak suka cara Artsy mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi. Akan tetapi, dalam keadaan seperti ini, mungkin tak ada salahnya mengendarai mobil seperti yang sedang Artsy lakukan. “Gloria… Apakah dia masih… Dia baik-baik saja bukan?” tanya Mooney pada Artsy. “Entahlah.” Jawab Artsy, pendek.

Selanjutnya, tak ada lagi percakapan antara Artsy dan Mooney di sepanjang perjalanan. Suasananya berubah hening dan hanya dipecah oleh suara deru mesin mobil yang sedang melaju kencang.

Artsy kini menginjak pedal rem mobilnya. Mobil itu kini berhenti di depan sebuah rumah dengan pekarangan depan yang kacau. “Rumah Eris.” Kata Mooney sembari tersenyum sinis. “Ya. Rumahnya.” Jawab Artsy, pelan.
“Kita masuk?” Tanya Mooney.
“Tentu saja.”

Mereka berdua kini keluar dari mobil Artsy. Artsy berjalan terlebih dahulu menuju pintu rumah Eris. Mooney, di belakangnya, kini tengah menyalakan sebatang rokok. Artsy beberapa kali mengetuk pintu rumah Eris. Tak ada jawaban. Dia terdiam sejenak, lalu kembali mengetuk pintu rumah itu. Mooney, yang kini tengah menghisap rokoknya, berjalan menghampiri Artsy. “Lampu di dalam menyala, tapi tak ada jawaban ketika aku mengetuk pintunya.” Kata Artsy kepada Mooney.
“Mungkin dia sudah tidur.”
“Mungkin saja.”
“Kita pulang?” tanya Mooney.
Artsy tak menjawab pertanyaan Mooney lagi.
“Oke, sebaiknya kita pulang, Artsy.”
Artsy mengetuk pintunya lagi. Tetap tak ada jawaban.
“Artsy, Ayolah!” kata Mooney.

Gelagat Artsy menandakan penolakan, tapi dia langsung membalikkan badannya membelakangi pintu. Dia dan Mooney berjalan menyusuri batu-batu di tengah pekarangan menuju mobil Artsy. Artsy mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya yang ia simpan di dalam saku sweater hoodie yang ia kenakan. Dia kembali berbalik menghadap rumah itu dari sebelah pintu mobilnya sambil menempelkan filter rokok tersebut ke bibirnya. Dia melihat ke dalam rumah melalui jendelanya yang tak tertutup oleh gordyn. Ada seseorang di dalam!

“ARTSY!” Tiba-tiba saja terdengar sebuah teriakan dari seseorang di dalam rumah.

Eris!

No comments:

Post a Comment